Iklim Ekstrim, Petani NTT Bingung Bertani

kekeringan manggarai

MANGGARAI TIMUR. Perubahan iklim yang ekstrim tengah menghinggapi seluruh dunia. Adapun dampak dari perubahan iklim antara lain kekeringan, badai pesisir, suhu meningkat dan naiknya permukaann air laut. Perubahan iklim ekstrim di Indonesia ini berdampak susahnya memprediksi waktu musim hujan dan musim kemarau berlangsung.

Dampak perubahan iklim juga terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT). Di daerah ini banyak terjadi keganjilan, misalnya dalam satu kabupaten salah satu daerah sudah turun hujan namun pada waktu yang bersamaan daerah lain masih kekeringan.

Sebastian Anggal anggota Majelis Nasional Petani (MNP) Serikat Petani Indonesia (SPI) asal NTT menyampaikan, kekeringan panjang saat ini masih melanda NTT, di Kabupaten Manggarai Timur petani banyak yang mengalami gagal panen.

“Khusus di sekitar daerah pesisir, kekeringan menyebabkan jagung dan padi yang ditanam petani anggota SPI kekurangan air. Begitupun dengan kakao dan pisang yang tidak bisa berbuah,” katanya saat dihubungi via telepon, kemarin (12/05).

Namun hal sebaliknya terjadi pada petani anggota SPI di sekitar pegunungan NTT.

“Herannya, petani anggota SPI di pedalaman dan pegunungan Manggarai sudah turun hujan, alhasil kopi mereka sedang melimpah saat ini,” imbuhnya.

“Kami petani jadi sedikit bingung untuk bertani, untuk memulai masa tanam, dan lainnya, karena iklim dan cuaca semakin susah diprediksi,” sambung Sebastian.

Agus Ruli Ardiansyah, Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI menanggapi, pemerintah mulai dari tingkat nasional hingga desa harus segera bertindak dan mengeluarkan kebijakan yang sistematis, hingga berkoordinasi dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk mensosialisasikan kondisi iklim dan cuaca di masing-masing darah.

“Kalau pemerintah tidak cepat bertindak, petani akan terus mengalami kesulitan menentukan masa tanam dan komoditas yang ditanam,” kata Agus Ruli.

Agus Ruli menyampaikan, pemerintah juga harus menggiatkan jenis pertanian yang ramah lingkungan, yang tidak berkontribusi terhadap gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global dan iklim ekstrim.

“Pertanian konvensional menggunakan kimia dan pertanian berbasis industri harus ditinggalkan. Mari hijrah ke pertanian agroekologi yang ramah lingkungan, membuat petani berdaulat benih dan negara berdaulat pangan,” ungkapnya.

“Dari sisi produksi pertanian agroekologi juga mampu menaikkan hasil panen, dan tanamannya juga tahan banjir. Petani kita di Lampung sudah membuktikannya; ketika dilanda banjir, sawah yang ditanam menggunakan urea tumbang dan puso, sedangkan sawah yang ditanam menggunakan prinsip agroekologi alhamdulillah bertahan,” tambahnya.

ARTIKEL TERKAIT
Membangun inisiatif lokal untuk kedaulatan rakyat Membangun inisiatif lokal untuk kedaulatan rakyat
SPI Lantik Kader Pertanian Berkelanjutan Angkatan IV
Hari Perempuan Internasional: Perempuan Berjuang untuk Kedau...
UU pangan harus lindungi petani kecil UU pangan harus lindungi petani kecil
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU