JAKARTA. Gelombang industrialisasi, ekspansi ekonomi dan otoritarian negara mendorong berlakunya sistem politik yang melahirkan kekerasan dan kemiskinan terhadap perempuan.
Hal tersebut mencuat dalam diskusi bulanan yang diadakan Departemen Petani Perempuan Serikat Petani Indonesi (SPI), di kantor DPP SPI (jumat/03/03). Diskusi yang mengambil tema Peringatan hari perempuan dan relevansinya dengan perjuangan perempuan saat ini, bertepatan dengan hari perempuan internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret.
Hadir sebagai narasumber dalam diskusi tersebut Risma Umar dari Solidaritas Perempuan dan staff BPP SPI.
Menurut Risma Umar isu perjuangan perempuan bukan merupakan hal baru di dunia ini. Pada awalanya perjuangan perempuan di lakukan oleh perempuan rumah tangga biasa yang menuntut hak-haknya baik secara politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Perjuangan panjang perempuan tersebut membuahkan hasil, PBB mengakui tanggal 8 Maret sebagai hari perempuan internasional. Masih menurut Risma Umar, hari perempuan ini kita jadikan sebagai momentum untuk merefleksikan bagaimana subordinasi, penindasan, kemiskinan dan kekerasan masih dialami perempuan di berbagai belahan dunia.
“Peran petani perempuan dalam proses mengolah benih di pertanian, sudah digantikan oleh perusahaan besar dengan alasan pemerintah untuk eningkatkan sektor ekonomi negara. Padahal hal tersebut telah meminggirkan peran perempuan dan mengurangi kontrol perempuan terhadap pengelolaan dan produksi pertanian mereka”, tambah Wilda Tarigan, Ketua Departemen Petani Perempuan SPI.