DPR: WTO Melemahkan Petani

JAKARTA. Bersamaan akan diselenggarakannya Pertemuan Tingkat Menteri (KTM) World Trade Organization (WTO) ke-9 yang akan diselenggaran di Bali pada bulan Desember 2013, sejumlah kalangan mempertanyakan manfaat keikutsertaan Indonesia dalam organisasi perdagangan internasional ini.

“Pertanyaannya adalah apakah organisasi ini (WTO-red) memberikan manfaat penciptaan lapangan pekerjaan bagi negara-negara berkembang dan terbelakang atau justeru membuat ketergantungan baru negara berkembang kepada negara-negara kaya dalam bentuk perjanjian perdagangan bebas yang memiskinkan,” ujar Arif Budimanta, anggota DPR RI komisi XI dalam diskusi publik yang diselenggaran oleh Serikat Petani Indonesia dan Gerakan Rakyat Melawan Neokolonialisme-Neoimperialisme di kantor Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) di Jakarta (11/09/2013).

Menurutnya setelah Indonesia meratifikasi keterlibatan menjadi anggota WTO pada tahun 1994, kondisi Indonesia menjadi lebih buruk. Jika pada tahun 1980-an Indonesia masih mengalami swasembada pangan, khususnya beras, perlahan mulai bergeser menjadi nett importir pangan. Jika dahulu tidak ada bantuan beras untuk rakyat miskin (Raskin), sekarang petani pun menerima raskin. Hal ini menjadi salah satu ukuran yang membuktikan bahwa liberalisasi perdagangan dalam kerangka multilateral (WTO) maupun yang yang dilakukan secara bilateral dan regional lebih banyak merugikan kepentingan Indonesia. Untuk itu dirinya mempertanyakan niat pemerintah Indonesia yang mengajukan diri sebagai tuan rumah dari penyelenggaraan WTO kali ini.

“Kita akan segera melakukan konsultasi publik untuk meminta pandangan masyarakat sipil mengenai dampak perjanjian WTO bagi masyarakat,” ujar Arif yang juga menjadi salah satu perwakilan parlemen Indonesia dalam International Parlemen Union (IPU) desk WTO.

Hal serupa dikemukakan oleh Ketua SPI, Henry Saragih. Menurutnya pemerintah Indonesia telah keliru dengan mendorong agenda perdagangan bebas dalam kerangka WTO. Di berbagai negara, WTO telah mendapat perlawanan dari berbagai kelompok seperti petani dan buruh karena dianggap hanya menguntungkan korporasi-korporasi besar multinasional. Apalagi menurutnya, pemerintah Indonesia tidak pernah menjelaskan kepada masyarat luas mengenai kepentingan nasional yang diperjuangkan oleh Indonesia dalam perjanjian-perjanjian internasional. Padahal  dampak dari perjanjian tersebut sangat besar, karena menyangkut liberalisasi sumber-sumber kehidupan rakyat Indonesia. Oleh sebab itu dirinya menyerukan agar pemerintah membatalkan penyelenggaraan WTO di Bali pada bulan Desember nanti.

“Kami mendesak pemerintahan SBY jangan mewariskan beban bagi rakyat dengan membuat perjanjian perdagangan bebas baru di WTO bulan Desember nanti,” ujarnya.

 

Kontak selanjutnya: Henry Saragih – Ketua Umum SPI (0811655668)

ARTIKEL TERKAIT
Dua Periode Pemerintahan SBY, Pembaruan Agraria Belum Dilaksanakan Dua Periode Pemerintahan SBY, Pembaruan Agraria Belum Dilaks...
Gejolak Harga Pangan Pengaruhi Nilai Tukar Petani (NTP): Pe...
Laporan Pelanggaran Hak Asasi Petani 2011: Tahun Penuh Luka ...
Dialog Kebangsaan Kedaulatan Pangan dan Munas Seknas TANI Jo...
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU