Genderang ‘perang’ antar negara sudah ditabuh di Sao Paulo Brazil 12 Juni yang lalu dan sampai detik tidak kurang dari 20 negara sudah memainkan peperangan ‘satu lawan satu’. Tentu saja perang dalam hal ini bukanlah perang yang kita bayangkan seperti rentetan peluru, ledakan mortir, dentuman bom dari tank atau pesawat tak berawak dan banjir darah korban perang baik dari tentara maupun sipil, tapi hanyalah suatu pertandingan sepak bola. Sungguh lebay! Sama lebaynya ketika kampanye Pilpres diibaratkan pula sebagai Perang Badar.
Menang-kalah dalam peperangan, atau pertandingan sepak bola tentu juga hal yang biasa, namun yang tidak biasa dan mungkin sulit adalah bila menanggung kekalahan – seperti kesebelasan Spanyol sang juara bertahan – yang kalah 5-1 dengan mantan penjajah kita, Belanda; Jepang – Pantai Gading 1:0; Uruguay – Costarika 1: 3; Brasil – Kroasia 3:1; dan Argentina : Boznia 2:1, untuk menyebut beberapa hasil pertandingan. Sportif, legowo dan rela mengakui kekalahan. Kalah ora wirang. Sebaliknya demikian pula untuk yang menang. Jangan somse, berpuas diri dan jangan ngejek yang kalah. Menang ora kondang lan ngasorake. Demikian nasihat atau petuah kakek-nenek kita.
Tetapi menang tetaplah menang dan semakin berarti kemenangan itu bila bersamaan dengan kemenangan lain. Dan inilah yang mungkin saat ini dirasakan oleh kaum petani di Chile. Setelah mengalahkan Australia 3-1 pada tanggal 13 Juni, pada hari ini, 16 Juni 2014, Chile juga akan dianugrahi Penghargaan dari FAO terkait dengan kemajuan Chile melawan kelaparan. Demikian siaran pers FAO tentang Awards Ceremony Recognizing Outstanding Progress in Fighting Hunger. Menurut FAO, Chile berhasil mengurangi prevelensi kurang gizi dari 9% pada tahun 1990-92 menjadi kurang 5% pada tahun 2011-2013. Angka ini sudah mencapi target dari WFS (World Food Summit) 1996 – menurunkan setengah angka kelaparan sampai tahun 2015. Di samping Chile, negara lain yang mendapat anugerah adalah China dan Maroko.
Capaian tersebut tentu tidak lepas dari kerja keras petani kecil yang memproduksi pangan baik tidak hanya untuk diri dan keluarganya tapi juga untuk seluruh penduduk Chile. Mengacu pada Laporan Grain (2014), petani kecil Chile menggarap 6 % lahan dan memproduksi 51% total sayuran, 40% tanaman gandum, 26% tanaman industri (tebu, bunga matahari dan minyak lobak) 23% buah, 22% cereal dan 10 % hasil ternak gembala.
Semoga dua kegemberiaan petani Chile tesrebut juga dirasakan petani-petani Indonesia – senasib seperjuangan – meskipun petani-petani Indonesia kurang sebahagia orang kota dan masih tetap mempunyai PSSI yang masih stabil belum lolos ke Piala Dunia. Namun demikian semoga pemuda tani untuk tetap bersemangat untuk bermain sepak bola di lapangan desa – gratis beda dengan futsal di kota bayar – selepas menggarap sawah, menggembala ternak, menyiram tanaman organik dan seterusnya – untuk bisa menghantarkan PSSI ke Piala Dunia (entah tahun berapa).
*Penulis saat ini aktif di Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia