Menteri-menteri anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) akan berbondong-bondong menuju New Delhi, India untuk gelaran pertemuan informal tingkat menteri pada 3-4 September 2009 ini. Menteri Perdagangan Indonesia, Mari Elka Pangestu, adalah salah satu menteri yang saat ini cukup penting posisinya untuk berada dalam pertemuan ini.
Seperti yang kita tahu, pasca Juli 2006 dan Juli 2008, WTO telah dua kali kolaps. Negosiasi mandeg, hingga tingkat ketidakpercayaan dan perbedaan semakin meruncing diantara 153 negara anggota rejim perdagangan dunia tersebut. Setelah berbagai upaya elitis diusahakan—terutama gerilya dan manuver Direktur Jenderal WTO Pascal Lamy, barulah negosiasi bergerak pada akhir tahun lalu. Di dalam kelanjutan negosiasi Putaran Doha ini, nasib penghidupan milyaran umat manusia dipertaruhkan di meja negosiasi.
Dualisme
Menteri Perdagangan Indonesia sayangnya akan melanjutkan dualisme kebijakan perdagangan Indonesia. Di satu sisi hukumnya wajib untuk melindungi sektor pertanian, pangan, jasa dan industri dalam negeri kita. Dalam sisi ini, kebijakan Indonesia dalam perundingan WTO (khususnya dalam sektor pertanian dan pangan) bisa jadi benar dengan “membalas” ketimpangan antara negara maju dan negara berkembang dengan proposal proteksionis kelompok negara G-33, yakni Produk Khusus (Special Product, SP) dan Mekanisme Perlindungan Khusus (Special Safeguard Mechanism, SSM). Walaupun perlindungan yang akan diberikan masih jauh dari cukup untuk petani kecil di Indonesia, namun proposal ini telah beberapa kali menjadi batu sandungan perundingan pertanian di WTO. Proposal ini juga merupakan usulan yang cukup progresif untuk melindungi kedaulatan pangan dan penghidupan kaum tani yang umumnya berada di daerah pedesaan.
Namun di sisi lain, kita sangat aktif mengadvokasi kelanjutan Putaran Doha WTO secara umum. Posisi ini cenderung liberal, yang bahkan tidak dilakukan secara blak-blakan oleh negara-negara macam Brazil, India, dan Cina. Padahal, negara-negara terakhir inilah yang tren posisinya menguat dalam struktur perekonomian dunia. Indonesia mungkin berbangga hati dengan fakta pertumbuhan ekonomi tahun terakhirnya bisa bernilai positif, dibandingkan negara-negara lain yang ikut tercebur krisis finansial global.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah hadir pada KTT G-20 yang diadakan April tahun ini, yang di dalamnya Indonesia ikut menyatakan setuju untuk membangkitkan Putaran Doha. Indonesia bahkan menjadi tuan rumah pertemuan Cairns Group (kelompok pengekspor komoditas pertanian dalam WTO), yang secara garis besar hasilnya setali tiga uang dengan forum sebelumnya. Dualisme ini cukup sulit dipahami, mengingat Indonesia harus benar-benar melindungi beberapa komoditas pertaniannya yang sangat vital bagi rakyat. Di antara beberapa komoditas yang masuk dalam daftar sembilan bahan pokok (sembako), beras, gula, jagung, daging dan produk susu adalah yang paling sering terkena imbas negatif perdagangan bebas. Tahun 1998 hingga kini kita merasakan sulitnya bangkit dari ketergantungan impor beras. Sampai detik ini juga kita masih menjadi net importir beberapa komoditas penting bagi rakyat seperti kedelai, daging, produk susu, gula, gandum, bahkan garam. Banjir impor tentunya tak membuat pertanian dalam komoditas bersangkutan semakin menguntungkan, malah semakin sulit bersaing—bahkan di pasar domestik sendiri!
Masa depan negosiasi
Untuk itu, baiknya kita tak selalu menjadi good boy di tengah forum internasional macam WTO. Kepentingan nasional, yakni kepentingan para petani, buruh, nelayan, pedagang, dan pengusaha dalam negeri harus diutamakan. Lagi pula, sudah hampir 14 tahun kita bergabung di WTO, petani-petani kecil, buruh dan nelayan kita tidak mendapatkan keuntungan seperti yang digembar-gemborkan.
Di tengah kebuntuan Putaran Doha saat ini, pertemuan di New Delhi nanti bisa jadi sebagai ajang wait and see serta pengukuhan komitmen belaka. Hal ini terutama karena aktor-aktor kunci, yang sering masuk ke dalam Green Room, masih banyak yang baku hantam argumen untuk mempertahankan usulan-usulannya. Di sisi lain, atmosfer kebuntuan semakin kental karena beberapa negara kunci terlihat tidak menunjukkan keinginan untuk melanjutkan negosiasi. Amerika Serikat (AS) bahkan belum menunjuk perwakilannya untuk WTO! Hal ini mungkin didasari pada fakta bahwa mereka ingin memperbaiki dulu kondisi ekonomi dalam negerinya yang hancur lebur dihantam krisis. Brazil menyatakan akan lebih fokus ke forum perdagangan regional Amerika Latin (Mercosur), terutama saat Putaran Doha memang tidak menjanjikan sebuah angka-angka riil yang akan menjadi konsensus 153 anggota.
Namun yang paling penting untuk digarisbawahi, ajang ini hanya diikuti sejumlah menteri saja—hanya sebuah ajang informal dan terbatas. Kejadian-kejadian macam ini, seperti juga pertemuan-pertemuan Green Room, menunjukkan bahwa negosiasi WTO tidak sepenuhnya demokratis karena ada masalah partisipasi dan peminggiran negara-negara miskin dan berkembang.
Ketimpangan ini juga terwakili dalam substansi Putaran Doha. Masalah subsidi misalnya, adalah masalah klasik yang selalu memancing jurang pemisah antara negara-negara maju dan negara berkembang. AS dan Uni Eropa (UE) telah menggelontorkan total US$128 milyar per tahun untuk subsidi pertanian, yang menyebabkan produk-produk pertaniannya membanjiri pasar internasional. Kedelai, produk susu dan olahannya (dairy products) adalah beberapa dari komoditas ekspor AS dan EU yang belum bisa ditangkal oleh negara manapun. Hujaman impor komoditas murah tersebut dengan gampangnya menghancurkan harga dan pasar domestik, yang berarti juga berpengaruh negatif terhadap pendapatan petani. Hal ini terus dimungkinkan di dalam WTO. Bahkan dalam teks negosiasi terbaru, subsidi yang merugikan ini terus menerus eksis walaupun bersembunyi dalam mekanisme yang cukup njlimet.
Masalah-masalah ini membuat masa depan negosiasi suram. Sementara rakyat kita di dalam negeri sebenarnya tidak berharap banyak (atau malah tidak tahu) pada Putaran Doha, apalagi tawaran terakhir dari Direktur Jenderal WTO, Pascal Lamy, memang sangat melemahkan posisi negara berkembang—termasuk Indonesia. Dengan dualisme sikap pemerintah, sikap kita dalam perundingan WTO jadi membingungkan. Namun yang jelas, perlindungan untuk petani kecil dan konsumen sangatlah diperlukan terutama untuk melindungi banyak komoditas vital sehari-hari. Dan tentunya, hal tersebut tak bisa kita wujudkan dengan kerangka liberalisasi Putaran Doha.
Muhammad Ikhwan
Ketua Departemen Luar Negeri
Serikat Petani Indonesia