JAKARTA. Eskalasi kekerasan terhadap petani di Indonesia berbanding lurus dengan ekspansi lahan perkebunan baik itu milik swasta maupun pemerintah. Kondisi ini meningkat tajam sejak diberlakukannya Undang-Undang (UU) Perkebunan No. 18 Tahun 2004. UU tersebut memberikan legalitas yang kuat bagi perusahaan perkebunan untuk mengambil secara paksa tanah-tanah milik petani. Selain itu dalam UU tersebut juga mencatumkan pasal beberapa pasal yang bisa menjerat petani kearah kriminal hanya karena hal-hal sepele.
Dalam pasal 21 UU ini menyebutkan, setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan. Sementara pasal 47 memuat ketentuan ancaman hukuman pidana bila ketentuan pada pasal 21 itu dilanggar, dengan maksimal lima tahun penjara dan denda paling banyak Rp5 miliar.
Kedua pasal inilah yang kerap digunakan untuk menjerat para petani yang menggantungkan hidup dari lahan-lahan yang diakui sebagai lahan perkebunan. Tumpang tindih dan ketidak jelasan pemetaan pertanahan dari tingkat pusat hingga kabupaten, menyebabkan seringkali terjadi pemberian ijin pembukaan lahan perkebunan yang ternyata mengambil lahan masyarakat lokal dan kawasan hutan.
Perluasan perkebunan skala luas ini semakin didukung oleh berbagai kebijakan pemerintah. Bahkan Presiden SBY dalam Pidato Pembukaan Forum Bisnis Global untuk Lingkungan di Jakarta menyatakan akan mengalokasikan 30 juta hektar tanah untuk perkembangan industri dan perkebunan kelapa sawit yang dianggap konsisten dengan komitmen pemerintah mengurangi emisi gas rumah kaca. Padahal telah terbukti, perkebunan monokultur kelapa sawit skala luas justru menjadi penyumbang pemanasan global, dan perluasannya telah merampas tanah-tanah petani tanaman pangan.
“Undang-Undang Perkebunan ini telah merampas Hak Asasi Petani atas lahan milik petani’, Ujar Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI). Pasal-pasal dalam UU terebut menjadi legitimasi bagi perusahaan perkebunan melakukan tindak kekerasan dan mengkriminalkan petani, akibatnya adalah kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani terus terjadi hanya akibat diberlakukannya UU ini”, Tambah Henry.
Menurut catatan SPI, dalam 4 (empat) tahun terakhir sedikitnya 23 orang petani tewas dalam 183 kasus bentrok bersenjata. Insiden tersebut menyeret 668 petani dikriminalkan dan 82.726 kepala keluarga tergusur.
Bahkan tahun 2011 ini eskalasi kekerasan terhadap petani semakin terlihat jelas. Di empat bulan pertama tahun ini saja tercatat telah terjadi 9 konflik agraria, antara masyarakat dengan pihak perkebunan dan bahkan dengan aparat pemerintah. Konflik agraria di awal tahun 2011 ini telah menyebabkan 11 orang petani meninggal, 44 orang mengalami luka baik ringan maupun berat, 7 orang di tahan, dan ratusan rumah serta tanaman masyarakat dirusak.
Jumlah korban meninggal di empat bulan pertama ini jauh lebih tinggi dibandingkan jumlah korban meninggal sepanjang tahun lalu. SPI menuntut pertanggung jawaban pemerintah atas pelanggaran kemanusiaan yang telah merampas hak hidup dan hak petani untuk bekerja di tanah-tanah mereka. SPI seperti juga yang telah disampaikan dalam peringatan 100 tahun kelapa sawit di Indonesia bulan Maret lalu juga mendesak dihentikannya pembukaan lahan perkebunan skala besar, khususnya perkebunan kelapa sawit yang telah mengancam kedaulatan pangan, lapangan kerja dan lingkungan hidup serta meningkatkan konflik agraria dan kekerasan terhadap petani dan masyarakat di pedesaan.
====================================================================
Kontak:
Henry Saragih – Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI)
HP: 0811 655 668