JAKARTA. Dalam merespon Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Organisasi Perdagangan Internasional (WTO) ke-10 yang akan dilaksanakan pada tanggal 15-18 Desember 2015 di Nairobi, Kenya, Gerak Lawan merilis posisi untuk menentang rejim perdagangan bebas ini.
Hal ini didasarkan pada 5 (lima) alasan:
Pertama, WTO telah gagal
“20 tahun WTO berdiri, ia telah gagal memenuhi tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara anggotanya,” ujar Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) di Nairobi sore ini (15/12).
“WTO adalah salah satu lembaga yang membuka pasar impor pangan kita sejak 1995, disusul Dana Moneter Internasional (IMF) pada 1997,”
“Lembaga ini sudah gagal dan tidak memiliki capaian signifikan untuk mengentaskan rakyat dari kemiskinan dan mewujudkan skema perdagangan berkeadilan. Yang ada malah rakyat, petani, makin miskin,” kata Henry.
Kedua, Perundingan WTO Tidak Demokratis
Negosiasi yang tidak demokratis terlihat dari praktik yang kerap terjadi di ruang tertutup dan hanya melibatkan negara tertentu.
Dalam perundingan WTO di Kenya Desember ini, Negara maju mendorong agar tidak ada lagi perundingan Agenda Pembangunan Doha, khususnya terkait pertanian. Hal ini karena mereka tidak mau mengurangi subsidi pertaniannya.
Di sisi lain, negara berkembang dipaksa untuk mengurangi subsidi dan membuka akses pasar. Desakan negara berkembang agar melanjutkan Agenda Pembangunan Doha terus mendapatkan hambatan dari Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa. Bahkan negara maju meminta trade off (tukar guling) dengan “Isu Singapura” yang menguntungkan mereka.
“Terjadinya tukar guling kepentingan akan menghasilkan keputusan WTO yang terus merugikan serta melukai kepentingan negara berkembang, khususnya dalam upaya melindungi petani kecil dan mewujudkan kedaulatan pangan”, jelas Rachmi Hertanti dari Indonesia for Global Justice (IGJ) di Jakarta sore ini (15/12).
“Praktik ini dilakukan menggunakan pertemuan tertutup yang disebut ‘Green Room’. Biasanya dalam pertemuan inilah tukar guling dan lobby-lobby dilaksanakan,” tambah Rachmi.
“Isu subsidi pertanian juga terus-menerus merugikan negara miskin dan berkembang,” tambah Achmad Yakub dari Yayasan Bina Desa. “Pertanian negara maju disubsidi ratusan milyar dollar—sementara petani negara miskin dan berkembang sangat berat untuk maju,”
“Lihat contohnya jika produk pertanian kita: kedelai misalnya, harus bersaing dengan kedelai impor dari Amerika. Sulit sekali–karena kedelai mereka overproduksi dan disubsidi besar-besaran untuk ekspor,” terang dia lagi.
Ketiga, WTO mengancam hak atas pangan
Adalah kewajiban negara untuk memenuhi hak atas pangan rakyatnya agar tak kelaparan, kekurangan gizi.
“Namun di dalam WTO, subsidi negara miskin dan berkembang dibatasi de minimis 10% dan peace clause Paket Bali,”
“Jadi kewajiban negara untuk menyantuni rakyat miskin, lapar malah dibatasi,” ujar Ridwan Darmawan dariIndonesia Human Rights Commission for Social Justice (IHCS).
Keempat, WTO, juga FTA, TPP, mengancam sektor pertanian
Sektor pertanian masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintahan Jokowi-JK. Kapasitas dan produk petani kecil Indonesia masih butuh bantuan dan insentif untuk berkembang. Jalan ke kedaulatan pangan rakyat masih panjang.
“Sementara menurut perjanjian WTO, akses pasar negara miskin dan berkembang terus dipaksa terbuka oleh Trade Facilitation,” kata M. Nuruddin, Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia (API)
“Ini menyebabkan pertanian kita tidak akan maju-maju. Apalagi sektor pertanian tidak pernah jadi fokus serius pemerintah di tengah perdagangan bebas macam WTO, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), atau wacana ikutTrans-Pacific Partnership (TPP),”
“Sepertinya pemerintah itu tanda tangan saja dulu perjanjian perdagangan bebas. Masalah mengancam sektor pertanian dan yang lain, tak peduli,” ujar dia.
Kelima, Di Mana Pembangunan?
Salah satu tujuan WTO adalah untuk pembangunan. Untuk itu, Agenda Pembangunan Doha masih terus menjadi andalan negara-negara miskin dan berkembang.
Di KTM 10 Nairobi, ada wacana untuk meninggalkan Agenda Pembangunan Doha—yang terutama dicetuskan negara-negara maju macam Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang. Rakyat di seluruh dunia harus bertanya, apa relevansi WTO saat ini? Tentunya sia-sia berusaha di dalam forum multilateral yang gagal, tidak demokratis, mengancam hak asasi, bahkan menghadang pembangunan untuk rakyat. #EndWTO.*****
Kontak lebih lanjut:
Mohammed Ikhwan (0819 320 99596), Rachmi Hertanti (0817 4985 180)
GERAK LAWAN
Serikat Petani Indonesia (SPI)– Aliansi Petani Indonesia (API) – Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia (WAMTI)– Indonesia for Global Justice (IGJ) – Bina Desa –Indonesian Human Right Committee for Social Justice(IHCS) –Youth Food Movement (YFM) –Institut Perempuan –Koalisi Anti Utang (KAU) – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) –Solidaritas Perempuan (SP)– Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) – Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI) – Serikat Nelayan Indonesia (SNI) – Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) – Serikat Buruh Indonesia (SBI) –Asosiasi Ekonomi-Politik Indonesia (AEPI) – Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KruHA)