Oleh: Achmad Ya’kub dan Kartini Samon*)
JAKARTA. Rencana kenaikan BBM kembali digulirkan pemerintah tahun ini, setelah 4 tahun lalu pemerintah menaikkan harga BBM. Jika kita hitung-hitung akumulasi kenaikan BBM selama periode kepemimpinan SBY telah mencapai 200 persen, kenaikan yang sangat fantastis. Tidak bisa dibayangkan betapa makin berat beban masyarakat jika awal April ini BBM kembali dinaikkan.
Alasan yang mengada-ada dari pemerintah misalnya, Menteri Energi dan Sumber daya Mineral menyatakan bahwa ini merupakan langkah menuju Indonesia bebas subsidi BBM pada tahun 2014, dengan alasan bahwa dengan harga mahal maka orang akan “terpaksa” untuk menghemat BBM (www.bphmigas.go.id). Menko Perekonomian Hatta Rajasa bahkan berani mengatakan bahwa kenaikan BBM ini tidak akan merugikan masyarakat, dan bahkan subsidi yang diberikan untuk BBM ini bisa dialihkan untuk kepentingan masyarakat tidak mampu. Namun apakah memang benar demikian?
Penghapusan subsidi BBM ini sejalan dengan kepentingan modal internasional dalam mendorong agenda liberaliasi sektor energi di Indonesia. Kebijakan ini ditujukan untuk mendominasi sektor energi nasional dari hulu ke hilir. Dalam rangka itu, sudah sejak jauh-jauh hari pula, melalui penerbitan UU No. 22/2001 tentang minyak dan gas bumi, pemerintah berupaya agar harga BBM secara legal diserahkan ke mekanisme pasar. Artinya kebijakan menaikan harga BBM bukan sekedar merespon situasi ekonomi global belaka. Namun tidak lepas dari sistem ekonomi neoliberal dimana diseluruh sendi kehidupan masyarakat akan di liberalisasi dan diprivatisasi untuk memenuhi kebutuhan mekanisme pasar. Walau akhirnya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kebijakan diatas adalah bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945, namun dalam prakteknya pemerintah tidak melaksanakan keputusan MK ini.
Alasan pengguna BBM adalah orang kaya terbalik dalam logika data dari Susenas BPS menunjukkan bahwa 65 persen bensin ternyata dikonsumsi oleh masyarakat kelompok miskin dan menegah bawah (pengeluaran per kapita < 4 dollar AS). Termasuk di dalamnya (29 persen) dikonsumsi oleh kelompok miskin (pengeluaran per kapita < 2 dolar AS). Sementara kelompok rumah tangga menengah atas dan kaya, atau rumah tangga dengan pengeluaran US$ 40 ke atas hanya mengkonsumsi 8 persen dari seluruh bensin.
Dampak bagi Petani
Bagi petani, kenaikan harga BBM artinya juga kenaikan biaya produksi. Bagi petani kecil atau buruh tani setidaknya biaya produksi selain benih dan pupuk juga meliputi harga sewa tanah, sewa traktor dan pompa air demikian juga pengolahan hasil panen seperti usaha penggilingan padi dan ongkos angkut atau transportasi. Misalnya Sebuah traktor tangan berkekuatan 8.5 PK membutuhkan solar sebanyak ±18 liter/ha sekitar Rp. 81.000 untuk pengolahan lahan sampai siap tanam yang memerlukan waktu ± 18 jam. Saat ini rata-rata sewa traktor antara Rp 400.000 hingga Rp 500.000 per hektar. Belum lagi bagi petani penyewa bias dipastikan sewa tanah akan naik. Pengalaman ditahun 2008, sewa tanah di Cirebon Jawa Barat naik 100%, yaitu dari Rp. 5 juta/ha/tahun menjadi Rp. 10 juta/ha/tahun.Artinya semua kenaikan ini akan dibebankan kepada petani, seperti yang sudah terjadi sebelumnya ditahun 2008 lalu.
Dampak rencana kenaikan BBM saat ini sudah dirasakan di beberapa daerah. Di Ponorogo bahkan petani yang ingin membeli solar dalam jumlah yang cukup besar tersebut untuk traktor dan perontok padinya harus mendapatkan surat ijin dari kepala desa. Hal ini karena dikhawatirkan bahwa petani akan menimbun bahan bakar menjelang kenaikan ini, mengingat solar dan BBM lainnya mulai sulit didapat seperti yang diungkapkan Ruslan, Ketua DPW SPI Jawa Timur.
Skema kompensasi BBM seperti BLT hanya menjadi “pemanis” sementara dan tidak akan sanggup membantu masyarakat miskin dan menengah ke bawah. Lagipula BLT bukanlah proses pembangunan yang berkelanjutan bagi rakyat. Seperti pengalaman kenaikan bertahap BBM tahun 2005 dilanjutkan dengan kenaikan tahun 2008, hal ini hanya menjadi “pemanis” sementara di awal kenaikan BBM namun ke depannya akan menjerat rakyat dalam kemiskinan.
Di tengah situasi saat ini sudah sepatutnya secara luas rakyat menolak kenaikan harga BBM yang merupakan kebijakan liberalisasi, privatisasi, komersialisasi dan korporatisasi sektor energi di Indonesia. Yang pasti tidak berpihak kepada rakyat. Di samping itu juga mendesak adanya Kebijakan penghematan energi dengan pajak tinggi bagi kalangan yang menggunakan energi yang besar, serta memaksimalkan teknologi energi yang merakyat, murah dan massal seperti tenaga air, angin, matahari, gelombang laut dan biogas. Dengan juga kebijakan pertanian haruslah didorong dengan model pertanian keluarga yang berkelanjutan. Perdesaan adalah sumber penghasil energy, yang kemudian sejak revolusi hijau justru menjadi konsumen energi. Dengan pertanian berkelanjutan penggunaan energi sangat sedikit dibandingkan dengan pertanian berbasis korporasi seperti yang sedang didorong oleh pemerintah saat ini.
*Para penulis adalah Ketua dan staf Departemen Kajian Strategis Nasional, Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia. Tulisan ini juga diterbitkan di harian sore Sinar Harapan, edisi selasa, 13 Maret 2012