MEDAN. Program food estate di Sumatera Utara (Sumut) diprediksi tidak bisa menjadi solusi mengatasi krisis pangan saat ini, apalagi untuk bisa membawa kedaulatan pangan di Indonesia. Hal ini termaktub dalam Seminar Daring via Zoom yang dilaksanakan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) yang bertemakan “Tinjauan Kritis Food Estate di Sumatera Utara” siang ini, Jum’at (29/01).
Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) SPI Sumut Zubaidah Tambunan dalam kata sambutannya menegaskan, SPI menolak food estate, karena dengan konsep ini, produksi pangan di Indonesia akan tergantung dan diurus oleh korporasi pertanian besar baik itu korporasi luar negeri dan Indonesia.
“Food estate juga akan membutuhkan investasi yang sangat besar yang menghabiskan keuangan negara. Padahal, Organisasi Pangan Dunia (FAO) menyebutkan bahwa petani dan pertanian kecil yang dikelola keluarga petani (family farming) yang memberi makan masyarakat dunia, bukan korporasi pertanian,” ungkapnya.
Zubaidah menjelaskan program food estate yang sudah dimulai di Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas) Sumatera Utara, tidak belajar dari kegagalan-kegagalan implementasi yang dilaksanakan pemerintah sebelumnya.
“Program 1 juta hektare lahan gambut di tahun 1995 terbukti gagal. Food estate Ketapang, tahun 2013 juga gagal. Food estate tahun 2012, di Bulungan juga gagal. Program food estate yang bertajuk Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pun gagal,” ungkapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Doni Latuparisa, Direktur Eksektuf Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Utara (Sumut) menyampaikan, Peraturan Menteri LHK Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate akan memperkuat dominasi korporasi terhadap kawasan hutan Indonesia.
“Lahirnya peraturan menteri ini semakin menegaskan muka jahat program food estate. Food estate merupakan konsep yang mendorong pertanian skala besar dengan mengandalkan kolaborasi negara dengan investasi. Secara sederhana food estate merupakan konsep pertanian tanpa petani. Saat ini, 33,45 juta hektar atau 26,57% kawasan hutan telah dikapling untuk kepentingan bisnis korporasi. Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, tercatat lebih dari 26 juta hektar kawasan hutan dilepaskan untuk kepentingan bisnis. Penerbitan Permen LHK 24/2020 akan membuka ruang penguasaan investasi melalui skema kolaborasi negara dengan korporasi,” papar Doni yang menjadi salah satu narasumber dalam acara ini.
Ia menambahkan, food estate justru akan mempercepat laju deforestasi dan merusak lingkungan hidup.
“Dalam prakteknya dan pengalaman selama ini, pelepasan kawasan hutan seringkali berujung pada kerusakan lingkungan hidup,” tegasnya.
Roki Pasaribu, Koordinator Staff Studi dan Advokasi Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) menyampaikan, program food estate akan meningkatkan potensi konflik agraria di tanah Batak. Ia menjelaskan, sejak 1980 — era awal industrialisasi di Tanah Batak — perampasan tanah terus meningkat.
“Mayoritas penduduk di Tapanuli Utara, Samosir, Humbang Hasundutan, Toba Samosir adalah masyarakat adat Toba. Sayangnya, lebih dari 60% tanah dan hutan adat di kawasan ini diklaim oleh negara sebagai kawasan hutan negara sesuai (Keputusan Menteri) SK 579/Menhut-II/2014,” paparnya saat memberikan paparan sebagai narasumber di seminar daring ini.
Ia melanjutkan, tumpang tindih klaim atas tanah antara negara dan masyarakat adat telah memperburuk konflik.
“Potensi konflik akan semakin tinggi dengan adanya program food estate yang dilaksanakan di empat kabupaten, Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Pakpak Bharat, dan Tapanuli Tengah,” paparnya.
Roki melanjutkan, food estate yang sedang dilaksanakan di Desa Ria Ria di Humbang Hasundutan sudah berdampak negatif mulai dari hilangnya tanaman endemik andaliman di kabupaten tersebut, menghilangkan ruang hidup masyarakat adat, degradasi lingkungan atau deforestasi akibat land clearing, ancaman pencemaran Danau Toba akibat penggunaan pupuk dan pestisida kimia, dan tentunya mengancam petani kecil lokal.
“Masyarakat di Siria-ria dan sekitarnya setelah mendapat program food estate mulai mulai meninggalkan hutan kemenyan mereka sebagai mata pencaharian utama sebelumnya. Mereka juga mulai menjadi buruh karena tertarik tawaran uang cash (bergaji harian). Akibatnya terjadi komersialisasi tenaga yang berdampak pada pergeseran nilai-nilai kearifan lokal seperti marsiadapari dan pastinya menimbulkan kecemburuan sosial antar desa,” terangnya.
Kawasan Daulat Pangan
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Departemen Kajian Strategis Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI Mujahid W. Saragih mengemukakan, konsep food estate hanyalah menjadikan petani menjadi buruh di negeri sendiri. Ia menekankan, solusinya adalah dengan menerapkan konsep kedaulatan pangan, yang sebenarnya sudah masuk di Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019.
“Petani kecil, keluarga-keluarga petani yang menegakkan kedaulatan pangan di masing-masing daerahnya adalah pahlawan sebenarnya yang harus didukung, bukan korporasi. Terbukti saat krisis 1998, 2008 dan pandemi covid-19. Mereka inilah yang selama ini menopang pemenuhan pangan bangsa, bukan korporasi besar,” tegas Mujahid.
Mujahid menambahkan, SPI sendiri sudah memiliki konsep “Kawasan Daulat Pangan” (KDP) yang memberdayakan petani-petani kecil, sudah dipraktekkan dan terbukti menjadi solusi, menjadi harapan untuk menghindari krisis pangan, memberdayakan perdesaan, sekaligus menjadi penopang ekonomi.
“Konsep kawasan berdaulat pangan SPI siap diadaptasi dan menjadi solusi dari food estate yang sudah terbukti selalu gagal. SPI siap bergandeng tangan dengan pemerintah,” katanya.
Mujahid menjelaskan, KDP adalah sebuah kawasan yang penduduknya menerapkan konsep kedaulatan pangan, melalui pemanfaatan semua sumber daya alam kawasan secara agroekologis dan integrasi oleh, dari, dan untuk rakyat untuk penyediaan pangan yang cukup, aman, sehat dan bergizi serta berkelanjutan; dan berdampak pada berkembangnya ekonomi kawasan yang mensejahterakan rakyatnya.
“Dari segi undang-undang, kawasan kedaulatan pangan didukung oleh adalah UU Pokok-Pokok Agraria no.5/1960, UU Pangan no.18/2012, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani no.19/2013, UU Hortikultura no.13/2010, UU Peternakan dan Kesehatan Ternak no.18/2009, UU Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan no.41/2009 dan UU Koperasi no.12/2012 berikut peraturan turunannya, serta Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Orang yang Bekerja di Perdesaan (UNDROP),” paparnya.
Mujahid menambahkan, KDP memiliki beberapa prinsip. Pertama, pelaku utama pertanian adalah keluarga petani dan / atau koperasi dan / atau negara. Kedua, tanah, air dan benih dikuasai secara setara oleh masyarakat yang tinggal di daerah tersebut. Ketiga, produksi pertanian dijalankan dalam skala kecil. Keempat, model produksi pertanian menggunakan model pertanian agroekologi. Kelima, proses pasca panen pertanian dilaksanakan dalam skala kecil dan menengah. Kelima, distribusi hasil pertanian dijalankan dalam jarak dekat dan menengah dan / atau pasar lokal / territori.
“Jadi bisa dikatakan gerakan KDP ini berasal dari petani, untuk menjawab tantangan krisis pangan tidak hanya karena covid, juga karena krisis yang bersumber dari faktor lainnya dan mensejahterakan petani dan kemandirian bangsa,” tambahnya.
“SPI sendiri sudah mendeklarasikan KDP di Sumatera Barat, Lampung, Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan pada 31 Oktober 2020, dan akan terus kita deklarasikan di provinsi-provinsi lain,” tutupnya.
Kontak Selanjutnya:
Mujahid W. Saragih – Ketua Departemen Kajian Strategis DPP SPI – 0813-7523-9059
Zubaidah Tambunan – Ketua DPW SPI Sumatera Utara – 0813-6281-2043