oleh: Kartini Samon*)
JAKARTA. Dua dekade sejak berlangsungnya KTT Bumi di Rio tahun 1992, dunia dibawa ke arah perkembangan pembangunan ekonomi baru. Pada awal periode 90an tersebut, sejumlah ilmuwan, pengambil kebijakan dan masyarakat sipil secara luas telah menyadari perlunya sebuah model pembangunan yang berjalan serasi dan selaras dengan alam, model pembangunan yang berkelanjutan bagi anak cucu.
Namun model pembangunan berkelajutan yang diperkenalkan 20 tahun lalu ini gagal mencapai tujuannya menjamin keberlanjutan sumberdaya alam sekaligus meningkatkan kesejahteraan manusia. Yang terjadi justru sebaliknya, bumi semakin rusak, perubahan iklim mengalami percepatan yang luar biasa akibat meningkatnya suhu bumi sementara di sisi lain pertumbuhan ekonomi yang diagung-agungkan itu kolaps, terjadi peningkatan kelaparan, pengangguran serta kesenjangan sosial. Bahkan beberapa tahun terakhir dunia mengalami krisis multidimensi, pangan, iklim, energi dan finansial belum lagi krisis sumberdaya alam lainnya seperti air bersih. Hal ini disebabkan karena model pembangunan “berkelanjutan” masih bersandar kuat pada sistem kapitalisme pasar, ekstraksi sumberdaya besar-besaran, industrialisasi dan liberalisasi pasar.
Bulan Juni 2012, pemimpin-pemimpin dunia, para pembuat kebijakan dan akademisi akan kembali berkumpul untuk merumuskan kembali model pembangunan ekonomi yang diharapkan dapat menjamin keberlanjutan sumberdaya alam namun tetap menguntungkan bagi pertumbuhan kapital. Tawaran model ekonomi yang diajukan saat ini bernama Green Economy (Ekonomi Hijau).
Green economy menurut UNEP ialah aktifitas ekonomi yang meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan manusia, sekaligus secara signifikan mengurangi kerusakan lingkungan dan kelangkaan sumberdaya alam.[1] Namun argumen yang dibangun dalam green economy ini untuk memberikan nilai ekonomi pada sumberdaya alam yang selama ini merupakan barang publik akan memberikan kesadaran kepada masyarakat untuk lebih menghargai nilai kegunaannya dan tidak menyia-nyiakan penggunaannya. Model green economy dibangun dengan visi “modernisasi ekologi” dimana pertumbuhan ekonomi dan konservasi lingkungan bekerja beriringan.[2]
REDD dan MP3EI: Wajah Green Economy di Indonesia
Alam mengalami pergeseran makna saat ini, dan memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Journal of Peasant Study edisi April 2012 memaparkan dengan jelas peningkatan komodifikasi sumberdaya alam yang terjadi di seluruh dunia saat ini atas nama ‘konservasi’, dan ‘ekonomi hijau’. Proses penguasaan lahan dan sumberdaya alam lainnya yang dilakukan seakan dilegalkan dengan menggunakan label hijau. Proses yang disebut oleh John Vidal (2008) sebagai “green grabbing”[3], sebuah istilah baru yang menggambarkan salah satu bentuk perampasan lahan (land grabbing) yang meluas di seluruh dunia saat ini.
Proses perampasan lahan yang diberi label hijau saat ini tidak terbatas untuk industrialisasi pertanian pangan dan energi saja, namun juga melihat nilai serapan karbonnya dan nilai ekonomi keanekaragaman hayati yang bisa mendatangkan keuntungan dari berbagai pendanaan untuk konservasi maupun ekoturisme. Di lapangan proses tersebut telah membuat alam dan sumberdaya yang terkandung di dalamnya menjadi milik privat, menjadi milik terbatas para investor dan pengusaha raksasa dan masyarakat lainnya harus membayar kepada mereka untuk bisa menikmati jasa layanan alam ini.
Indonesia yang memiliki salah satu hutan tropis terbesar di dunia dengan keaneka ragaman hayati yang sangat kaya merupakan tambang emas dalam sistem ekonomi hijau ini dan menjadi sasaran utama bagi para investor dan pengusaha dari seluruh dunia. Situs ‘Ecosystem Marketplace’ yang menyediakan informasi tren harga pasar global untuk karbon, air dan sumberdaya hayati menyebutkan Indonesia memiliki banyak transaksi dari proyek REDD dan penjualan panas bumi (geothermal).
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, yang dikeluarkan pemerintah untuk melengkapi Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah juga disusun atas perubahan ke arah ekonomi hijau. Secara eksplisit disebutkan bahwa MP3EI dirumuskan berdasarkan Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) sebagai bagian dari komitmen nasional terhadap perubahan iklim global.[4] Dalam kerangka MP3EI Indonesia memposisikan diri sebagai basis ketahanan pangan dunia, pusat pengolahan produk pertanian, perkebunan, perikanan dan sumberdaya mineral disamping sebagai pusat mobilitas logistik global. Semua sektor usaha yang berbasiskan pada sumberdaya alam.
Walaupun dalam MP3EI berulang kali disebutkan bahwa pembangunan ekonomi yang dimaksud bukan dibangun atas bisnis seperti biasa (Not Bussiness as Usual) namun yang terjadi justru sebaliknya. Sektor andalan pun masih berkisar pada perkebunan dan pertambangan, pada eksploitas sumberdaya alam besar-besaran, sejumlah unggulannya ialah kelapa sawit, kakao, timah, nikel, bauksit serta cadangan energi yaitu batu bara, panas bumi, gas alam dan air.
Lebih lanjut MP3EI dibangun atas semangat Indonesia Incorporated- perusahaan Indonesia, dengan keterlibatan pemerintah pusat, daerah, BUMN, BUMD dan swasta dalam pengelolaan sumber-sumber alam tersebut. Konsep ini menggambarkan dengan jelas prioritas pemerintah Indonesia demi pertumbuhan ekonomi semata dan bukan demi keberlajutan alam dan manusia yang hidup di dalamnya. Kontradiksi juga nampak dalam pilihan kebijakan maupun pilihan sektor perekonomian yang dikembangkan, di satu sisi pemerintah Indonesia mengatakan bahwa MP3EI disusun sebagian bagian dari komitmen nasional terhadap perubahan iklim global namun pemberian konsensus atau HGU terhadap perkebunan-perkebunan kelapa sawit dan pertambangan justru menunjukkan sebaliknya.
Selain MP3EI, salah satu bentuk penerapan green economy yang paling nyata di Indonesia ialah pelaksanaan REDD (Reducing Emissions through Deforestation and Forest Degradation/Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan). Pelaksanaan REDD dilakukan dengan mengukur kapasitas alami dari hutan dalam menyerap dan menyimpan karbondioksida, yang kemudian diperdagangkan di sejumlah pasar karbon seperti Kyoto Carbon Market dan Chicago Climate Exchange. REDD memungkinkan negara-negara industri untuk mengalihkan tanggung jawab pengurangan emisi karbon di dalam negeri ke negara-negara dengan areal hutan yang luas seperti Indonesia.
Di Indonesia sendiri praktek REDD telah dilakukan sejak tahun 2008 dengan dikeluarkannya Permenhut No. 68 tahun 2008 tentang penyelenggaraan demonstration activity pengurangan emisi karbon dan dari deforestasi dan degradasi hutan. Mekanisme REDD sesungguhnya adalah bentuk perampasan akses dan kontrol rakyat atas sumberdaya hutan dengan dalih perlindungan bumi dari penyelamatan iklim (green grabbing). Ada lebih dari 30 proyek REDD dengan luas lahan mencapai 26,6 juta hektar yang diperdagangkan di Indonesia. Skema ini menjual murah 26,6 juta hektar hutan alam Indonesia mulai dari tegakan pohon, hewan, tumbuhan, tanah, sumber mata air, dan ruang interaksi sosial, dan entitas masyarakat hukum adat di wilayah tersebut, hanya seharga Rp. 12,- per meter perseginya.
Pada kenyataannya proyek ini telah menggusur masyarakat sekitar hutan dari sumber penghidupan mereka sehari-hari. Salah satu kasus yang meluas ialah konflik yang terjadi antara petani dan masyarakat sekitar hutan lainnya dengan PT. REKI (Restorasi Ekosistem Indonesia) yang merupakan konsorsium dari Yayasan Burung Indonesia, Royal Society for the Protection of Bird (RSPB), dan Bird-Life International. Mereka mendapatkan ijin untuk mengelola areal seluas 101.000 hektar selama 100 tahun dengan SK Kementrian Kehutanan tahun 2007.[5]
Ketika perusahaan mengambil alih lahan tersebut, petani dan masyarakat adat diusir keluar dari tanah mereka. Mereka mengalami intimidasi, penangkapan dan diinterogasi secara paksa. Petani dan masyarakat adat dipaksa untuk menanda tangani perjanjian yang menyatakan bahwa mereka setuju untuk meninggalkan tempat itu dan tidak pernah kembali lagi. Kekerasan yang dialami petani dan masyarakat sekitar hutan terjadi beberapa kali di tahun 2010 dan 2012 karena menolak untuk meninggalkan tempat tinggal dan ladang mereka.
Green Economy yang dibangun dalam sistem ekonomi kapitalis tidak akan menjawab permasalahan lingkungan dan ekonomi yang dihadapi Indonesia dan dunia saat ini. Hal ini justru akan membuat barang publik seperti air, tanah, dan udara menjadi barang privat yang bernilai ekonomi, dan berpotensi menyingkirkan jutaan manusia yang selama ini menggantungkan hidupnya dari alam. Jasa layanan alam dan sumberdaya hayati yang selama ini tersedia secara bebas menjadi barang ekonomi bernilai tinggi yang bisa dipastikan hanya menguntungkan sekelompok kecil manusia.
Pertanian Berkelanjutan: Alternatif Green Economy di Sektor Pertanian
Di sektor pertanian, beberapa dekade terakhir menunjukkan kegagalan Revolusi Hijau dengan intensifikasi pertaniannya. Model pertanian ala revolusi hijau dibangun dengan asumsi sumberdaya air dan energi berlimpah yang menjadi motornya akan terus tersedia dan bahwa iklim akan selalu stabil.[6] Asumsi di atas kertas ini sungguh bertolak belakang dengan realita di lapangan, yang terjadi justru revolusi hijau telah mendorong industrialisasi pertanian yang menyebabkan monopoli sumberdaya agraria dan terpinggirkannya petani dan pertanian rakyat yang selama berabad-abad telah menjadi sumber penghidupan jutaan manusia di seluruh dunia.
Green Economy mendorong apa yang disebut efisiensi sektor pertanian melalui perluasan ke arah industrialisasi pertanian skala luas, privatisasi air dan pengembangan benih atau tanaman transgenic yang tahan perubahan iklim, banjir dan kekeringan. Model ini melanggengkan praktek pertanian ala revolusi hijau yang telah terbukti gagal untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pangan sekaligus merusak lingkungan.
Praktek pertanian keluarga berdasarkan pada sumberdaya alam lokal yang dipraktekkan selama berabad-abad di Indonesia sesungguhnya merupakan anti tesis dari industrialisasi pertanian yang telah merusak alam selama ini. Di Indonesia saat ini masih terdapat 25,4 juta rumah tangga petani berdasarkan Sensus Pertanian terakhir yang bertanggung jawab terhadap pemenuhan pangan lebih dari 239 juta penduduk Indonesia.
Sejumlah praktek pertanian berkelajutan seperti SRI (system rice intesification), terbukti mampu meningkatkan produksi dengan pemanfaatan air yang lebih rendah serta lebih tahan terhadap hama. Hal ini terbukti dari pengalaman yang dilakukan oleh Pusdiklat SPI di Bogor dan anggota SPI di Ponorogo, Jawa Timur. Praktek-praktek lapangan seperti ini harus juga didukung dalam kebijakan negara, termasuk memberikan akses kepada petani kecil atas tanah, air, benih dan sumberdaya agraria lainnya. Saat ini masih terdapat 13,7 juta rumah tangga petani di Indonesia dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar. Memperluas praktek pertanian berkelanjutan dan membangun pasar lokal adalah salah satu langkah strategis jika sungguh-sungguh ingin membangun sistem ekonomi yang meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan manusia, sekaligus secara signifikan mengurangi kerusakan lingkungan dan kelangkaan sumberdaya alam.
*Penulis adalah staf Departemen Kajian Strategis Nasional, Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia
Referensi
Altieri, M. et al. 2012. The Scaling Up of Agroecology: Spreading the Hope for Food Sovereignty and Resiliency. Mei 2012.
Fairhead, Leach and Scoones. 2012. Green Grabbing: A New Appropriation of Nature?. Journal of Peasant Studies.
Houtart, F. 2011. From ‘Common Goods’ to ‘Common Goods of Humanity’. Rosa Luxemburg Foundation.
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Republik Indonesia. November 2011.
Reclaiming Our Future: Rio +20 and Beyond. La Via Campesina Call to Action. Februari 2012.
Siti Maimunah. Climate Justice. September 2011. Inside Indonesia. http://www.insideindonesia.org/edition-105-jul-sep-2011/climate-justice-18071465
Serikat Petani Indonesia. Metode Penanaman SRI Organik: Panen Melimpah, Biaya Murah. Mei 2011. https://spi.or.id/?p=3663
Serikat Petani Indonesia. Metode Penanaman SRI Terbukti Unggul dan Tahan Wereng. Juli 2011. https://spi.or.id/?p=3940
[1] What is the “Green Economy?” www.unep.org. About GEI.
[2] Fairhead, Leach and Scoones. 2012. Green Grabbing: A New Appropriation of Nature?. Journal of Peasant Studies.
[3] Idem.
[4] Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Republik Indonesia. November 2011
[5] Antara News “11/03/08 12:21, The Visit of the Prince of Wales to Harapan Rain Forest in Jambi-Sumatera
http://www.antara.co.id/en/arc/2008/11/3/the-visit-of-the-prince-of-wales-to-harapan-rain-forest-in-jambi-sumatera/
[6] M. Altieri, et al. 2012. The Scaling Up of Agroecology: Spreading the Hope for Food Sovereignty and Resiliency
Tulisan ini sangat mneginspirasi 😉 saya ijin share melalui siaran radio yang kali ini mnegambil tema Green Economy 🙂 Terima kasih 😀