Sengketa ekspor sapi Indonesia dan Australia hanyalah secuplik puncak dari gunung es permasalahan pangan yang lebih besar di negeri ini. Sengketa ini bukan hanya sekedar masalah reaksi keras dari Australia menyikapi sistem pemotongan hewan di Indonesia, ataupun praktik penyembelihan yang tidak “berperikemanusiaan” yang telah berlangsung puluhan tahun—praktik yang sudah dipandang normal oleh mayoritas masyarakat Indonesia.
Dalam perspektif Serikat Petani Indonesia (SPI), sengketa yang terjadi saat ini perlu dipandang dalam konteks Kedaulatan Pangan—konsep yang dipromosikan oleh gerakan petani internasional La Via Campesina sejak tahun 1996. Pangan merupakan salah satu hak dasar manusia dimana setiap orang memiliki “hak” untuk menentukan pangan dan sistem pertanian, peternakan dan perikanan mereka sendiri, dan bukan menyerahkan pangan sebagai obyek kekuatan pasar internasional.
Hingga hari ini Indonesia masih belum bisa memenuhi kebutuhan daging dalam negeri. Impor daging kita mencapai 35 persen atau sekitar 135 ribu ton untuk konsumsi nasional setiap tahunnya.
Kondisi ini menyebabkan Indonesia sangat bergantung pada pasar intenasional. Bahkan jika melihat tren impor, tidak ada tanda-tanda penurunan impor dalam beberapa tahun terakhir. Anehnya lagi, pemerintah telah menargetkan swasembada daging tahun 2014—yang tentunya menimbulkan tanda tanya besar.
Ketergantungan impor daging ini bukan hanya disebabkan oleh senjangnya permintaan dan penawaran, namun lebih karena luasnya pintu masuk untuk impor (dalam hal volume, kredit dan transportasi) dan tentunya akibat harga daging impor yang murah. Akibatnya banyak peternak lokal mengalami kerugian karena tidak mampu bersaing. Hal ini menyebabkan sektor peternakan, terutama sapi potong, menjadi tidak atraktif.
Lebih lanjut, pemerintah Indonesia tidak mengerjakan pekerjaan rumahnya—terutama sejak era perdagangan bebas tahun 1995.
Pemerintah terus mendorong impor untuk memenuhi kebutuhan, bukannya secara bertahap mengembangkan industri peternakan dalam negeri. Banyak hal jadi terabaikan, mulai dari penurunan produksi ternak nasional sebagai konsekuensi dari rendahnya kapasitas produksi nasional, hingga akhirnya produksi ternak nasional tidak mampu mencukupi peningkatan konsumsi daging dalam negeri. Perbaikan infrastruktur industri ternak bagi banyak rumah pemotongan hewan menjadi buruk, sehingga dianggap tidak memenuhi standar internasional (yang umumnya ditetapkan negara-negara maju).
Tentu saja pemerintah Indonesia dapat dengan mudah mengabaikan pernyataan dari Australia. Sikap pemerintah Indonesia sejauh ini hanya menyatakan bahwa larangan impor daging itu tidak berbahaya bagi pasokan karena kita bisa dengan mudah mendapat gantinya dari negara lain.
Jika pemerintah terus mempertahankan sikap seperti ini, maka 35 persen ketergantungan konsumsi daging dari pasar internasional itu akan sangat sulit untuk diubah—apalagi mencapai swasembada daging tahun 2014. Pemerintah Indonesia saat ini tengah mencari dari negara-negara lain seperti Brazil, Argentina dan Kolumbia untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri.
Di sisi lain, persediaan daging dalam negeri hanya dapat bertahan hingga Idul Fitri atau akhir Agustus mendatang. Ini artinya pelarangan daging dari Australia dapat memicu lonjakan harga daging saat permintaannya paling tinggi dalam setahun. Idul Fitri, yang didahului bulan Ramadan adalah periode dimana pemintaan daging melonjak pesat, dan umumnya diiringi dengan lonjakan harga yang tinggi.
Mudah bagi Australia dan negara lainnya untuk mengeksploitasi posisi pemerintah Indonesia yang lemah ini, karena mereka tahu betapa kita membutuhkan pasokan daging dari mereka. Pernyataan pemerintah Australia adalah salah satu cara untuk mendorong Indonesia memenuhi hambatan tekhnis perdagangan.
Isu hambatan teknis ini hanyalah salah satu dari sekian banyak hambatan yang bisa digunakan dalam perdagangan global – yang umumnya digunakan oleh negara-negara maju untuk mendapatkan keuntungan dari negara miskin dan berkembang. Kombinasi hambatan dagang ini bisa menjadi lebih buruk jika kita berada pada posisi yang lemah—contohnya seperti posisi Indonesia dalam perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan bentuk-bentuk perjanjian perdagangan bebas (FTA) lainnya.
Situasi ini bisa menjadi semakin buruk bagi Indonesia, dimana demi menjamin kebutuhan pasar domestik kita dapat kehilangan sapi-sapi betina yang unggul untuk perkembangbiakan. Atas nama konsumsi dan pengendalian harga, mereka harus dipotong. Sementara untuk masa depan produksi, sapi-sapi betina yang produktif ini seharusnya diperbanyak.
Berkaca dari ketergantungan impor, posisi Indonesia yang lemah di pasar internasional dan tidak adanya perbaikan produksi dalam negeri, rencana swasembada daging pada tahun 2014 hanya akan menjadi pepesan kosong belaka.
Pada Deklarasi Kedaulatan Pangan yang dihadiri 500 perwakilan dari berbagai organisasi di dunia di Nyeleni, Mali tahun 2007 silam, kembali ditekankan pentingnya kedaulatan pangan. Aspek utama kedaulatan pangan yaitu memprioritaskan ekonomi serta pasar lokal dan nasional, pemberdayaan keluarga-keluarga petani kecil, nelayan dan peternak serta produksi distribusi dan konsumsi pangan yang berdasarkan pada keberlanjutan lingkungan, sosial dan ekonomi.
Di tengah situasi ini, kita perlu untuk secara bertahap mengurangi impor sekaligus membangkitkan minat keluarga peternak lokal serta industri kecil dan menengah untuk terus berproduksi. Impor hendaknya dimanfaatkan sebagai upaya untuk menstabilkan dan mengembangkan populasi ternak domestik—yang disertai dengan memberikan insentif harga, kredit, infrastruktur dan perlindungan pasar lokal.
Para peternak lokal di Propinsi Jawa Timur pun menyatakan bahwa ini adalah saatnya bagi pemerintah Indonesia untuk sungguh-sungguh membangun strategi ke arah swasembada daging. Kita harus memanfaatkan peluang ini untuk segera merestrukturisasi strategi peternakan di Indonesia. Di sejumlah daerah kita melihat permintaan akan daging lokal telah mulai meningkat, dengan harga yang lebih bersaing.
Para peternak lokal menegaskan peluang bagus di tengah pelarangan ekspor daging dari Australia ini untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas ternak lokal. Larangan ini hendaknya menjadi tamparan keras bagi pemerintah untuk mulai membenahi pekerjaan rumahnya. Tujuannya adalah untuk pembenahan industri ternak nasional agar kembali hidup, berkembang dan menguntungkan.
===================================================================
*Ditulis oleh: Henry Saragih Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Koordinator Umum gerakan petani internasional La Via Campesina
*Tulisan ini juga terbit di Harian Sore Sinar Harapan, Edisi 17 Juni 2011