JAKARTA. Melambungnya harga beras di tingkat pedagang ternyata kurang dinikmati oleh petani padi sendiri. Dari, Pati Jawa Tengah, harga beras premium di pedagang mencapai Rp 11.000 – Rp 12.000 per kilogram dari yang biasanya Rp 8.300 – Rp 9.000 per kilogramnya.
“Harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani hanya Rp 4.000 per kilogram dari yang biasanya Rp 3.500 per kilogram. Di penggilingan beras harganya jadi Rp 8.600 per kilogram dan menjadi Rp 11.000 – Rp 12.000 di tingkat pedagang,” kata Edi Sutrisno, Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) Serikat Petani Indonesia (SPI) pagi tadi (24/02).
Edi mengemukakan, harga jual beras yang melambung di tingkat pedagang tidaklah signifikan dengan kenaikan harga beli gabah di tingkat petani.
“Mata rantainya terlalu panjang, dari kami petani ke pengepul ke penggilingan ke pedagang lalu ke konsumen. Ini yang harusnya dipotong langsung,” ungkapnya.
Berbeda dengan di Pulau Jawa, Di Padang, Sumatera Barat, harga beras justru mengalami penurunan dari yang biasanya mencapai Rp 12.000 per kilogram menjadi Rp 10,800.
“Harga jual beras di Kabupaten Agam juga menurun, mencapai Rp 10.500 per kilogramnya dari yang biasanya Rp 13.000 per kilogram untuk beras premium,” kata Irwan Piliang, Ketua BPW SPI Sumatera Barat.
Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, kenaikan harga beras ini seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah yang sedang mengejar target peningkatan produksi pangan, dan itu tidak artinya jika ada permasalahan di rantai pasok atau distribusi pangan.
“Kenaikan harga beras bisa menjadi masalah bagi petani yang juga sebagai konsumen beras,” sebut Henry Saragih dari Padang, Sumatera Barat, pagi ini (24/02).
Henry melanjutkan, perbedaan harga di petani dan pedagang ini akibat kurang berfungsinya Bulog. Menurutnya perlu adanya pengaturan secara khusus dalam distribusi pangan yang seharusnya berbeda dari pengaturan distribusi barang lainnya. Pengaturan pangan harus di bawah kendali negara, karena negara berkewajiban menjamin dan memenuhi salah satu hak dasar rakyat ini. Sayangnya kondisi tersebut jauh panggang dari api. Kebijakan pangan negeri ini masih diserahkan kepada pasar. Sehingga fluktuasi harga pangan sulit dikendalikan oleh pemerintah. Akibatnya harga pangan melambung tinggi, tidak bisa dijangkau oleh masyarakat miskin, di sisi lain petani sebagai produsen pangan justru tidak menikmatinya.
“Bulog harusnya jadi lembaga yang sangat sentral dalam menampung, mendistirbusikan dan menyimpan produksi pangan dalam negeri. Bulog harus memotong mata rantai antara petani dengan pengepul dan tengkulak,” imbuhnya.
Oleh karena itu Henry melanjutkan, adalah hal yang mendesak bagi pemerintah untuk mengaktifkan kembali lagi koperasi-koperasi di pedesaaan yang berfungsi untuk mengelola pemasaran produksi-produksi pertanian petani khususnya dalam hal ini pangan dan memberikan peran yang sangat besar kepada organisasi tani dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan distribusi dan pemasaran produk-produk pertanian tersebut.
“Dalam upaya meningkatkan produksi, pemerintah jangan menunda-nunda lagi program pembaruan agraria untuk kedaulatan pangan yang telah dicanangkan, segera distribusikan tanah-tanah baik yang dikuasai oleh negara maupun pihak swasta yang berlebihan kepada orang-orang tak bertanah d pedesaan khsususnya untuk memproduksi bahan makanan dan menghentikan alih fungsi lahan pertanian. Itu kan semua sudah dijanjikan Jokowi-JK dalam nawacitanya,” tambah Henry.
Kontak Selanjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668
Edi Sutrisno – Ketua SPI Jawa Tengah – 0853 2550 7500