Harga Komoditas Terus Turun, Momen Ubah Orientasi Pertanian Menjadi Berbasis Kedaulatan Pangan

JAKARTA. Menanggapi turunnya harga beberapa komoditas pertanian berbasis ekspor, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyatakan bahwa inilah saatnya orientasi pertanian Indonesia dirombak dengan tidak mengutamakan menanam tanaman demi kepentingan ekspor tapi untuk kepentingan nasional.

“Tanaman berbasis ekspor itu harganya mengikuti pasar global, dalam sejarahnya mekanisme pasar ini selalu fluktuatif dan cenderung merugikan petani kecil. Belum lagi sistem pangan dan pertanian seperti ini berkontribusi terhadap krisis iklim, antara 44% sampai 57% dari seluruh emisi gas rumah kaca berasal dari sistem pangan global,” papar Henry di Jakarta pagi ini (09/01).

Bagi petani yang sudah terlanjur menanam tanaman perkebunan, Henry menyarankan agar secara perlahan mengubah tanamannya. Petani diharapkan mengalihkan tanamannya untuk tanaman pangan dan kebutuhan nasional, seperti padi, jagung kacang kedelai, peternakan, sayuran, dan buah-buahan.

“Minimal 50 % untuk tanaman pangan dan hortikultura, dan 50 % lagi untuk tanaman perkebunan. Jadi ketika harga tanaman perkebunan jatuh seperti sekarang, kebutuhan dasar manusia yaitu pangan masih bisa dipenuhi petani dari hasil pertaniannya sendiri, inilah dasar dari penegakan kedaulatan pangan,” tutur Henry.

Henry selanjutnya menuturkan, inilah saatnya pemerintah Indonesia mengembangkan industri nasional berdasarkan produk pertanian dari dalam negeri. Untuk itu menurutnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMD) dan usaha-usaha bersama dalam wadah koperasi didorong lebih berperan aktif dalam hal ini.

“Jangan biarkan industri pertanian ini diurus oleh korporasi-korporasi asing yang hanya memikirkan keuntungan semata. Pemerintahan Jokowi-JK dan menteri-menterinya harus terus berada di jalur nawa citanya, menegakkan Indonesia hebat yang berdaulat pangan dan berdikari di bidang ekonomi,” imbuh Henry.

Sementara itu, turunnya harga komoditas pertanian berbasis ekspor ini tercermin dari rendahnya Nilai Tukar Petani (NTP) tanaman perkebunan rakyat untuk Desember 2014 yang nilainya berada di angka 98,03. Nilai ini tercatat sebagai nilai paling rendah selama 2014 dan nilai tersebut berada di bawah batas kesejahteraan petani yakni 100.

“Harga karet di sini stagnan di Rp 7.000-an per kilogram, sementara harga kebutuhan sehari-hari terus naik,” kata Ahmad Fitriadi, petani karet SPI asal Desa Rengas, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan.

Bahkan menurut Sainan petani karet asal Langkat, Sumatera Utara, harga karet di sana mencapai Rp 4.500 rupiah per kilogram.

“Ini salah satu harga terendah yang pernah kami alami,” keluh Sainan.

Oleh karena itu Henry menambahkan, untuk jangka pendek, pemerintah harus memberikan subsidi berupa bantuan dana segar bagi para petani karet yang terpuruk dengan rendahnya nilai tanaman mereka.

“Selanjutnya pemerintah harus memberikan jaminan harga dan nilai tambah bagi produksi petani,” tambah Henry.

 

Kontak selanjutnya:

Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668

ARTIKEL TERKAIT
Pemerintah SBY-JK gagal melaksanakan pembaruan agraria Pemerintah SBY-JK gagal melaksanakan pembaruan agraria
Kampanye global menuju Konvensi Internasional Hak Asasi Petani diluncurkan Kampanye global menuju Konvensi Internasional Hak Asasi Peta...
Kolektifitas dalam mengelola pertanian berkelanjutan
Enam Kritik SPI Terhadap Toko Tani Indonesia
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU