JAKARTA. Tanggal 20 April setiap tahun diperingati sebagai Hari Hak Asasi Petani (HAP) Indonesia yang ditetapkan pada Konferensi Nasional Pembaruan Agraria untuk Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Asasi Petani di Cibubur yang diselenggarakan Serikat Petani Indonesia (SPI), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM) bersama organisasi-organisasi petani dan para pejuang petani serta hak asasi manusia di Indonesia. Selain dari penetapan itu, konferensi juga telah melahirkan Deklarasi Hak Asasi Petani Indonesia.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih memaparkan, dari hasil deklarasi di atas kemudian dikembangkan menjadi dasar Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Perlintan).
“Di tingkat Internasional, setelah hampir 17 tahun ke belakang, SPI dan La Via Campesina (gerakan petani dunia) tinggal menunggu pengesahan Deklarasi Internasional Hak Asasi Petani dan Orang-Orang yang Bekerja di Pedesaan dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), September 2018 ini,” kata Henry dalam diskusi publik memperingati Hari HAP Indonesia dengan tema “Refleksi Lima Tahun UU Perlintan dan Menyongsong Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani & Orang-orang yang Bekerja di Perdesaan” di sekretariat Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI di Jakarta (21/04).
Henry menegaskan, UU Perlintan bisa digunakan untuk memperkuat penegakan hak asasi petani di Indonesia.
“Nantinya UU Perlintan bisa disinkronkan dan saling menguatkan penegakan hak asasi petani apabila Deklarasi Internasional Hak Asasi Petani dan Orang-Orang yang Bekerja di Pedesaan sudah disahkan dan diadopsi di tingkat nasional,” sebutnya.
Dalam diskusi ini Khudori, dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) menerangkan, UU Perlitan pasal 19 dan pasal 21 menyebutkan beberapa poin tentang hak asasi petani.
“ Tapi ini belum dijalankan walau anggaran untuk pertanian di periode pemerintahan ini cukup besar,” ulasnya.
Gunawan, penasehat ahli dari Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) mengemukakan, selain menegakkan hak asasi petani, UU Perlintan bisa juga digunakan sebagai dasar hukum petani melaksanakan reforma agraria sejati.
“Dengan mengikuti UU Perlintan itu sudah bisa ditemukan objek reforma agraria tanpa harus menunggu Peraturan Presiden (Perpres) tentang reforma agraria. Untuk Peraturan Daerah (Perda) turunan UU Perlintan ada di Tanah Bumbu, Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan, Jawa Tengah, hingga Lamongan Jawa Timur,” jelasnya.
Agusdin Pulungan dari Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia (WAMTI) menyampaikan UU Perlintan masih misleading dan tidak mengakomodir penuh hak-hak asasi petani. Oleh karena itu ia mengusulkan agar ormas tani dan gerakan masyarakat sipil mengusulkan pembuatan UU Hak Asasi Petani.
“Semoga forum ini bisa menjadi konsolidasi awal dalam perumusan UU Hak Asasi Petani,” tuturnya.
Sementara itu, Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI Agus Ruli Ardiansyah menambahkan, sejatinya UU Perlintan harus bisa dijadikan paying hukum untuk melindungi petani dari konflik lahan yang merampas lahan dan rumah petani.
“Nyatanya di lapangan petani anggota kita malah dirampas hak asasinya, dirampas lahan dan rumahnya, seperti yang terjadi di Mekarjaya Langkat Sumatera Utara, Pasir Datar Sukabumi Jawa Barat, Kendal Jawa Tengah, dan lainnya. Oleh karena itu kita sekali lagi berharap agar Deklarasi Internasional HAP dan Orang-Orang yang Bekerja di Pedesaan bisa memperkuat penegakan HAP dan perjuangan petani,” tutupnya.
Sementara itu, acara ini juga dihadiri oleh perwakilan dari API (Aliansi Petani Indonesia), Bina Desa, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), IGJ (Indonesia for Global Justice), perwakilan mahasiswa, dan tamu undangan lainnya.
Kontak selanjutnya:
Henry Saragih, Ketua Umum SPI – 0811 655 668
Agus Ruli Ardiansyah – Sekretaris Umum SPI – 0812 7616 9187
Mohon dikirimi undangan undangan hak hak petani