BUKITTINGGI. “Siapa yang hilang haknya atas tanah, hilang kemerdekaannya. Ia terpaksa menggantungkan hidupnya kepada orang lain”. Ungkapan yang pernah diucapkan oleh salah seorang proklamator Indonesia, Bung Hatta, kembali diperdengarkan oleh Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) pada saat membuka Seminar Internasional Pembaruan Agraria Abad 21 di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, tadi pagi.
Henry yang juga Koordinator Umum La Via Campesina ini menyampaikan bahwa oleh sebab itu pembaruan agraria sejati adalah hal yang mutlak dilakukan untuk memastikan keadilan agraria.
“Oleh karena itu hari ini berkumpul petani dari 26 negara untuk bersama-sama merumuskan pembaruan agraria di abad 21. Balai sidang Bung Hatta yang menjadi tempat penyelenggaraan seminar ini juga sengaja dipilih untuk kembali mengingat salah satu semangat bapak pendiri Indonesia ini,” tuturnya.
Hal senada juga diungkapkan, HS Dillon, Utusan Khusus Presiden Bidang Penanggulangan Kemiskinan yang juga hadir dalam acara ini. Dia menyampaikan, berdasarkan cita-cita proklamasi, tanah digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
“Walaupun begitu saat ini begitu banyak tantangan dari kaum liberalis dan kapitalis. Jadi memang tidak semudah membalik telapak tangan untuk menerapkan pembaruan agraria di Indonesia,” ungkapnya.
Dia juga menambahkan bahwa strategi pembangunan harus sesuai dengan keinginan rakyat sehingga rakyat Indonesia mampu berdaulat dalam politik, mandiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya.
“Oleh karena itu saya mendukung SPI dalam usahanya menegakkan pembaruan agraria sejati di Indonesia bersama dengan gerakan masyarakat sipil lainnya,” tambahnya.
Koperasi Penyokong Pembaruan Agraria
Sementara itu, Revrisond Baswir, pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) menyampaikan dalam konteks perjuangan kemerdekaan, pembaruan agraria dapat dilihat dengan perspektif pasal 33 UUD 1945 yg diamanatkan oleh pejuang kemerdekaan. Menurutnya, di pasal 33 UUD 1945 jelas-jelas dikatakan Indonesia ingin mewujudkan demokrasi ekonomi.
“Jadi memang seharusnya rakyat mempunyai akses alat-alat produksi dan ini bagian integral dari cita-cita proklamasi. Tidak ada pilihan, tanah harus dikuasai oleh para penggarap,” tegasnya.
Ekonom asal Universitas Gajah Mada ini juga menyampaikan hubungan koperasi dan pembaruan agraria di Indonesia tidak hanya bicara meningkatkan lahan yang dikuasai petani, tapi bagaimana mengorganisasikan penguasaan lahan. Gerakan petani di Indonesia harus bisa menyediakan surplus kapital untuk membiayai logistik gerakan, oleh karena itu jawabannya adalah dengan berkoperasi sehingga mampu berjuang dengan modal sendiri.
“Di usianya yang ke-14 ini, SPI harus mampu mendorong berdirinya koperasi-koperasi pertanian, sehingga melalui koperasi itu terbiayailah gerakan petani, sehingga gerakan petani menjadi gerakan sendiri dan mandiri,” tambahnya.