Ironi “Madep Mantep Pangane Dewe” di Kulon Progo

Pembangunan fisik selalu berubah setiap saat, semua itu akan mempengaruhi hidup dan kehidupan masyarakat baik dari sisi sosial, ekonomi, dan budaya. Seperti yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, tidak ketinggalan pula di Kabupaten Kulon Progo. Adanya wacana pembangunan bandara internasional, dermaga dan pembangunan mega proyek lainnya, tentunya akan menimbulkan dampak yang sangat luar biasa yang selalu menghantui pemikiran masyarakat baik dari segi kehidupan sosial maupun dari segi perekonomian. Efek samping di kemudian hari setelah terlaksananya proyek pembangunan tersebut, secara tidak langsung kota kecil yang berada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta ini, akan tumbuh mengalami pertumbuhan penduduk yang drastis dan menjadi kota metropolitan. Hal tersebut pasti mempengaruhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan, yang merupakan kebutuhan primer masyarakat, harus terpenuhi dan tidak mungkin dihindari.

Dalam mensikapi situasi yang demikian, perlu adanya sosialisasi pada masyarakat tentang analisa sosial ke depan sehingga masyarakat bisa ikut berpartisipasi dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang akan timbul. Proyek-proyek yang menelan lahan akan berdampak pada berkurangnya lahan pertanian, dan akan diikuti menurunnya produksi pangan, yang seharusnya semakin besar pertumbuhan penduduk semakin besar pula ketersediaan pangan yang ada, tetapi justru malah sebaliknya.

Jika hal ini terus berjalan tanpa kontrol bersama antara pemerintah dan masyarakat maka kemungkinan yang akan terjadi adalah timbulnya sebuah bencana krisis pangan di wilayah kita. Hal ini sangat kontradiktif dengan slogan kabupaten Kulonprogo yang berbunyi “Madep Mantep Pangane Dewe” yang sekarang sedang dikampanyekan. Bagaimana hal itu bisa terwujud kalau lahan pertanian semakin hari terus menyusut. Padahal kita semua sadar dan bisa menganalisa bahwa ke depan akan terjadi meningkatnya tren kebutuhan pangan dan menurunnya tren produksi pangan di Kabupaten Kulonprogo. Maka dari itu perlu adanya penanganan secara bijak terhadap analisa kondisi yang akan terjadi kedepan dan logika yang demikian perlu disampaikan kepada seluruh lapisan masyarakat agar mereka bisa mensikapinya dengan kritis dan reaktif.

Alam sebagai Sumber kehidupan

Sumber hidup dan penghidupan bagi semua makhluk yang tidak bisa lepas dari kehidupan adalah empat anasir alam yaitu; bumi, air (banyu), udara (angin), dan api/energi (geni). Saat ini keempatnya sudah menjadi komoditas sangat mahal, yang seharusnya itu kita kendalikan bersama, karena keempat hal tersebut merupakan rahmat dan karunia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa kepada seluruh makhluk-Nya untuk kita syukuri bersama. Keempat hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari kehidupan umat manusia maupun makhluk lain.

Bumi (tanah) menjadi hal yang sangat dibutuhkan oleh manusia sebagai tempat tinggal, produksi pangan dan lain sebagainya. Bagi petani sendiri, kepemilikan tanah bersifat mutlak. Namun yang terjadi saat ini, tanah menjadi semakin sempit dengan dibangunnya proyek-proyek besar yang memakan lahan tidak sedikit, akibatnya produksi pangan pun semakin berkurang.
Air, yang menjadi sumber kehidupan manusia seiring perjalanan waktu debitnya semakin menurun bahkan semakin habis, padahal kebutuhan semakin besar seiring pertumbuhan penduduk. Maka dari itu perlu adanya konsep untuk mengatasi permasalahan kekeringan, karena tidak ada kehidupan tanpa air, jika tidak ada air maka tidak akan ada kehidupan. Berbeda halnya dengan listrik, kalaupun tidak ada listrik selama satu hingga dua bulan maka kita masih tetap akan bertahan hidup.

Udara, semakin padatnya penduduk polusi udara akan semakin tinggi, yang kemudian udara segar akan menjadi mahal adanya. Beruntung bagi kita masyarakat yang berdomisili di pedesaan, masih bisa menghirup udara segar dengan bebas tanpa harus mengeluarkan biaya karena masih banyak lahan-lahan terbuka hijau, perbukitan-perbukitan dan masih banyak tanaman penghasil oksigen. Jika dibandingkan dengan kehidupan perkotaan di Jakarta misalnya, kita harus berbondong-bondong ke puncak untuk mendapatkan udara segar dengan biaya yang tidak sedikit.

Api (energi), bagian penting yang tidak bisa lepas dari kehidupan kita, sekarang menjadi komiditas yang sangat mahal harganya. Mulai dari adanya konversi minyak ke gas yang akhirnya membuat masyarakat semakin terpuruk karena peningkatan harga gas yang setiap saat dapat berubah menjadi semakin tinggi. Beruntung bagi masyarakat yang tinggal di pedesaan yang masih bisa membuat api dari kayu-kayu bakar di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan biaya yang murah. Dibandingkan dengan masyarakat di perkotaan yang hidup dipermukiman padat yang tidak mungkin menggunakan kayu bakar untuk memasak karena tidak ada lagi di sekitarnya. Apakah di Kulonprogo ke depan akan terjadi hal yang demikian, tentunya kita tidak menghendakinya.

Gerakan Perubahan

Dari analisa sosial di atas, masyarakat perlu diberikan pengertian agar mereka memahami apa yang akan terjadi di sekitarnya kemudian. Sehingga masyarakat bisa berfikir dan mempersiapkan dirinya untuk mempertahankan kehidupan mereka sampai anak cucu kelak. Mulai sekarang seharusnya kita semua berfikir dan harus melakukan suatu gerakan perubahan pola pikir serta kembali kepada wawasan kebangsaan sejati yang selalu mengakar pada budaya dan kearifan lokal, naluri dan tradisi bertumpu kepada cinta kasih tanah air dan bangsa berubah dan berkembang sesuai irama kodrat dalam rangka “Madep Mantep Pangane Dewe”. Semestinya masyarakat kembali lagi memproduksi pangan-pangan lokal, menegakkan kedaulatan pangan sebagai strategi untuk mempertahankan hidup.

 

*Penulis adalah Ketua Majelis Wilayah Petani (MWP) Serikat Petani Indonesia Yogyakarta

ARTIKEL TERKAIT
SPI Pati Kembangkan Mocaf Khas Petani
SPI Riau dan BPN Sosialisasikan Tanah Obyek Reforma Agraria ...
Perlu "Political Will" Untuk Implementasikan Kedaulatan Pang...
Hak Asasi Petani untuk memperkuat kerangka kerja Hak Asasi Manusia Hak Asasi Petani untuk memperkuat kerangka kerja Hak Asasi M...
2 KOMENTAR
  1. Agraris berkata:

    Saya setuju, karena kebanyakan saat ini proyek2 besar cuma mementingkan diri sendiri/golongan. Belum tentu proyek tersebut bermanfaat untuk rakyat banyak.

    Saya mendukung “Madep Mantep Pangane Dewe” atau yang sering didengar itu swasembada pangan. Belajar mandiri untuk memenuhi kebutuhan primer. Sebuah penurunan kualitas negara Agraris Indonesia tidak bisa memenuhi kebutuhan pangannya sendiri.

    Salam
    Agraris.tk

BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU