Jer Basuki Mawa Beyo. Berakit-rakit ke hulu-hulu, berenang-renang ke tepian. Innama’al ‘usri yusraa yang artinya setelah menempuh kesulitan, datangkan kemudahan. Demikianlah peribahasa dan pesan dari Tuhan – yang kiranya bisa menggambarkan hikmah dari “puasa tarekat” (lihat artikel Puasa Tarekat ala Tim Jerman) dan kerja keras kesebelasan Jerman yang berhasil mengalahkan Brazil dengan skor telak 7:1 di semi final dan kemudian mengalahkan Argentina 1:0 di final Piala Dunia, yang membuat Der Panzer – demikian julukan tim Jerman tersebut merebut Piala Dunia untuk keempat kalinya. Dengan kolektifitas tim yang tinggi, kesebelasan Jerman yang dikomandani Philipp Lamp berhasil mengalahkan tim-tim yang mempunyai kemampuan sepak bola individu yang tinggi, terkhusus Lionel Messi pemain Argentina dan klub Barcelona-Spanyol dengan gaji Rp. 6,2 milyar per minggu. Wow!
Namun sebagaimana yang dinyatakan oleh Joachim Loew – pelatih kesebelasan Jerman – capaian tertinggi ini merupakan hasil revolusi pembinaan dan pendidikan sepak bola oleh Pemerintah Jerman, Deutscher Fussball-Bund (DFB) atauPSSI-nya Jerman dan klub-klub sepakbola Jerman selama 10 tahun lamanya. Revolusi sepak bola Jerman tersebut tidak lepas dari sejarah masa lalu sepakbola mereka yang suram, yakni dimana kesebelasan Jerman tidak lolos babak penyisihan dalam Piala Eropa tahun 2000 dan 2004. Titik-titik sejarah yang kelam tersebut itulah yang rupanya menjadi sumber motivasi Jerman untuk membuat titik-titik sejarah yang cerah di masa depan dan terbukti dalam kurun waktu 10 tahun selanjutnya Jerman menjadi juara ke-3 Piala Dunia 2006, Juara ke-2 Piala Eropa 2008, Juara ke-3 Piala Dunia 2010, Juara ke-3 Piala Eropa 2012 dan akhirnya Juara Dunia 2014. Demikian Jerman memandang, memaknai dan akhirnya menulis sejarah sepak bolanya. Dan Biarlah masa kini memeluk masa lalu dengan kenangan dan memeluk masa depan dengan kerinduan – mungkin demikian juga Kahlil Gibran – seorang Penyair Libanon – ‘memaknai’ revolusi sepak bola Jerman tersebut
Pada tanggal 12 Juli 2014 Indonesia merayakan Hari Koperasi ke-67 dengan puncak perayaannya secara nasional dilaksanakan tgl 15 Juli 2014 di Medan dan dihadiri oleh Presiden SBY. Selanjutnya mengaitkan dengan Revolusi Sepak Bola Jerman dalam memandang sejarah kelam sepak bola tersebut di atas, bagaimana Indonesia memaknai perayaan hari Koperasi dengan melihat lintasan titik-titik sejarah Koperasi sampai saat ini? Gunawan Wiradi – saat memberi sambutan pada perayaan Hari Ulang SPI ke-16 di Jakarta 9 Juli 2014 yang lalu – mengatakan bahwa dalam memaknai perayaan ulang tahun, kita harus mengerti sejarah – yang dapat didefinisikan sebagai kumpulan titik-titik pasang surutnya seseorang atau suatu organisasi…dan dalam manajemen organisasi, ada empat hal yang mesti diperhatikan, yaitu: doktrin, dinamika, ritme perjuangan dan romantisme. Berdasar pada empat komponen di atas, tentunya akan ada ragam pemaknaan perayaan Hari Koperasi .
Dalam sambutannya di perayaan Hari Koperasi di Medan, Presiden SBY – menjelang akhir masa pemerintahannya – mengatakan : “sejarah gerakan koperasi di seluruh dunia dulu adalah di Eropa. Ketika terjadi revolusi industri, ketika berkembang teori pasar bebas dan ekonomi yang kapitalistik maka terjadi semangat dari mereka-mereka yang tidak ingin tertinggal dengan Revolusi Industri Ekonomi Pasar Bebas, Ekonomi Kapitalis dan era modern waktu itu. Itulah yang melatarbelakangi lahirnya gerakan koperasi. Intinya rakyat waktu itu ingin jangan sampai kemakmuran itu, kesejahteraan itu yang mengambil keputusan di bidang ekonomi itu hanya di tangan para pemilik modal, para kapitalis. Hendaknya juga di tangan banyak orang termasuk mereka yang tidak memegang modal. Inilah cerminan dari demokrasi ekonomi. Oleh karena itu sejak lahirnya gerakan koperasi memang diniatkan untuk membawa manfaat bersama bagi anggotanya baik manfaat ekonomi maupun manfaat sosial. Oleh karena itu koperasi tetap relevan dan penting sepanjang masa”
Kutipan sambutan Presiden SBY tersebut menggambarkan bagaimana refleksi perayaan menitikberatkan pada aspek doktrin koperasi dan mungkin ini menjadi cara pandang positif SBY ketika sepanjang sejarah koperasi dipenuhi oleh titik-titik surut koperasi ketimbang titik-titik pasangnya, sehingga dengan kembali mengingatkan doktrin tersebut, ada langkah perbaikan-perbaikan koperasi di masa depannya. Dan langkah perbaikan diantaranya yang disebut SBY dalam sambutannya adalah Kebijakan dan program pemerintah yang pro-rakyat, pro-koperasi, pro-UMKM dan pro-saudara-saudara kita yang tidak mampu…..Asalkan jangan sampai kemajuan ekonomi kita ini hanya dinikmati oleh golongan tertentu saja, dinikmati oleh kelas menengah saja. Rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke harus juga menikmati dan mendapatkan manfaatnya. Itulah tujuan pembangunan kita. Mantap nian.
Namun demikian yang perlu diingat bahwa apa yang disampaikan SBY tersebut adalah mungkin dan semoga terjadi ada di masa depan, bukan masa kini. Oleh karena saat ini rakyat kecil, terkhusus petani dan nelayan terus didera oleh kemiskinan, kelaparan dan konflik agraria. Kemiskinan perdesaan selalu lebih tinggi dari kemiskinan perkotaan mungkin di sepanjang sejarah. Karena itu muncullah bagaimana akan keluar dari kemiskinan, bila akses tanah bagi petani serasa terhalang tembok yang tebal dan tembok tersebut ternyata dasar tangga bagi korporasi untuk memanfaatkan tanah-tanah pertanian untuk dialihfungsikan menjadi industri dan perumahan? Contoh terakhir adalah konflik agraria di Karawang, dimana tanah petani digusur oleh korporasi pengembang untuk Industri, dan konflik agraria di Rembang, dimana tanah petani digusur untuk pabrik.
Dan bagaimana akan keluar dari kemiskinan bila akses kredit baik dari bank maupun koperasi sekalipun masih jauh dari harapan bagi petani dan nelayan – terkecuali petani dan nelayan besar – terkait dengan prosedur yang rumit dan kekayaan sebagai agunan. Terkait kesulitan tersebut dan tidak adanya kemajuan yang pesat dari koperasi berikut dengan adanya kerusakan moral, sehingga KUD singkatan dari Ketua Untung Duluan, maka Gusdur pernah berujar : kalau ingin koperasi maju, bubarkan Departemen Koperasi. Oleh karena itu mungkin saja para rentenir – dengan iklannya “ Butuh Dana Cepat” – masih lebih berguna –sesaat – daripada berhubungan dengan bank atau koperasi penyalur kredit.
Pada sisi lain, penyaluran kredit belum lepas dari masalah penggunaan dan pengembaliannya bila kredit itu diberikan kepada petani dan nelayan kecil. Keluarga miskin akan menghabiskan pendapatannya lebih besar untuk konsumsi, karena itu kredit untuk kegiatan produksi berpeluang tinggi digunakan untuk kegiatan konsumsi, terkhusus konsumsi pangan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Daru Priyambodo dan Bagong Suyatno (1991) menunjukkan hanya 28% penerima kredit memanfaatkan sepenuhnya kredit untuk produksi, 19,1 % digunakan untuk produksi dan konsumsi, dan 57,1 % lebih banyak digunakan untuk kegiatan konsumtif. Sementara dari laporan BPS (2014), faktor konsumsi pangan di Perdesaan menjadi salah satu utama penyebab kemiskinan untuk periode September 2014 hingga Maret 2014, dan dari Sensus Pertanian, pendapatan keluarga petani sebesar 1,03 juta rupiah. Tentu hal yang berat bagi keluarga petani dengan angka pendapatan tersebut, bila kesehatan dan pendidikan masih belum ada subsidi dari Pemerintah. Belum termasuk rokok dan – bila tergoda – untuk beli handphone dan pulsa. Waduh.
Sementara itu jerik payah keluarga petani dan nelayan dalam memproduksi dan menyediakan pangan masih belum mendapatkan umpan balik yang positif dari pemerintah sebagai ‘manajer’ pengelola distribusi pangan nasional. Rantai pasok ( supply chain) dan rantai nilai (value chain) pangan yang ada belum memihak petani dan nelayan, sebaliknya yang mendapat manfaat adalah korporasi pangan dan pertanian berikut – dugaan kartel pangannya. Bukankah ini termasuk ironi dan keprihatinan dari slogan “ Jer Basuki Mawo Beyo “ – yang mendapat keuntungan (basuki) adalah korporasi dan kelas menengah – yang jumlahnya meningkat- , tetapi yang harus kerja keras ( mawa beyo) adalah keluarga petani dan nelayan. Enak di lu, enggak di gue.
Dengan demikian akhirnya menjadi tantangan yang tidak kecil bagi koperasi petani dan nelayan baik secara ke dalam (internal) maupun keluar (eksternal). Secara internal, bagaimana anggota-anggota koperasi bermain kolektif ala kesebelasan Jerman dalam meningkatkan kemampuan manajemen koperasi melalui pendidikan-pendidikan yang intensip sehingga bisa mengelola dana koperasi, dana sendiri maupun dana atau suntikan dari luar, sehingga terus ada semangat untuk maju dan menghasilkan hasil dan keluaran yang benar-benar meningkatkan kesejahteraan anggota – walaupun besarannya kecil. Semangat untuk maju itulah yang dimiliki oleh Kesebelasan Jerman –setelah sejarah kelamnya – untuk dan akhirnya mendapatkan gelar Juara Dunia 2014 di Brasil.
Sementara secara eksternal adalah bagaimana koperasi petani dan nelayan dengan ‘ Semangat untuk Maju’ bisa berkedudukan setara dengan korporasi pangan dan pertanian tanpa perlu menjadi ‘korporasi’ sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Koperasi no.12 tahun 2014 sebelum diamandemen oleh Mahkmah Konstitusi pada tanggal 28 Mei 2014 yang lalu. Dengan kedudukan setara inilah koperasi tidak tereskploitasi oleh Korporasi pangan dan pertanian dalam satu lintasan rantai pasok (supplay chain) dan rantai nilai (value chain) produk-produk pertanian. Tidak ada pilihan bagi koperasi karena pemerintah SBY sudah dan tidak bisa mencabut segala kebijakannya yang menguntungkan korporasi pangan dan pertanian, terkhusus Perpres no.39/2014 dalam rangka Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Perpres tersebut tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Karena itulah sambutan Presiden di Hari Koperasi di Medan menekankan kembali doktrin koperasi.
Namun muncul pertanyaan apakah memang benar selama ini kaum petani dan nelayan tidak mempunyai semangat untuk maju, sehingga mereka mendapat ‘merk’ kaum pemalas, berbudaya miskin – sebagaimana yang disebut Chairul Tanjung baru-baru kali ketika Menteri Ekuin tersebut mendapatkan Doktor Honoris Causa dari Malaysia, dan akhirnya disebut juga sebagai kaum statis oleh Boeke ( lihat kolom Dualisme Bola dan Petani). Kebudayaan Miskin (Poverty Culture) yang dilukiskan sebagai masyarakat miskin yang apatis, atau sedikitnya menyerah pada nasib, dengan sistem-sistem keluarga yang tidak mantap (Oscar Lewis didalam David Beker, 1980). Tentu adalah sangat menyakitkan bila kaum petani dan nelayan berbudaya miskin ? – mereka bekerja keras untuk menghasilkan pangan dan mencari tambahan penghasilan untuk menyambung hidup. Saat sawah atau kebun mereka relatif tidak perlu perhatian penuh, mereka terpaksa pergi untuk narik ojek atau berjualan di pasar. Seandainya Pemerintah benar-benar pro-petani dan nelayan, pro-koperasi dan pro-UKM, tentu kaum petani dan nelayan tidak akan mencari penghasilan tambahan untuk keluar dari kemiskinannya.
Ya, akhirnya semoga presiden dan pemerintahan hasil pilpres tidak seperti yang – masa kini yang segera menjadi masa lalu. Amin.
*Penulis saat ini aktif di Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia