SERANG. Di kuartal terakhir tahun 2013, terungkap data yang semakin menunjukkan tidak berpihaknya pemerintahan SBY kepada petani (kecil) di Indonesia. Jumlah petani di Indonesia semakin berkurang, petani gurem bertambah banyak, sebaliknya jumlah perusahaan pertanian justru meningkat. Dari sensus BPS (Badan Pusat Statistik) Mei 2013 mencatat adanya penyusutan 5,04 juta keluarga tani dari 31,17 juta keluarga per tahun 2003 menjadi 26,13 juta keluarga per tahun 2013. Artinya jumlah keluarga tani susut rata-rata 500.000 rumah tangga per tahun. Sebaliknya, di periode yang sama, jumlah perusahaan pertanian bertambah 1.475 perusahaan. Dari 4.011 perusahaan per tahun 2003 menjadi 5.486 perusahaan per tahun 2013. Jumlah rumah tangga usaha pertanian juga mengalami penurunan per tahun sebesar 1,75 persen, dengan total penurunan 5,04 juta rumah tangga dari 2003 – 2013.
Penurunan rumah tangga pertanian bisa saja disebabkan perpindahan rumah tangga tesebut ke usaha non pertanian untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, mengingat angka Kemiskinan di Pedesaan lebih tinggi dari Kemiskinan Perkotaan sebagaimana yang dilaporkan oleh BPS ( 2014). Namun pada kenyataannya telah terjadi peningkatan jumlah orang miskin baik di desa maupun di kota pada periode Maret 2003 hingga September 2013. Ini dapat diartikan perpindahan ke non pertanian justru menambah kemiskinan baik di desa maupun di kota. Dengan demikian pada satu sisi sektor pertanian pada kondisi miskin, tetapi pada sisi lain transformasi pertanian ke non pertanian – bila pemerintah bermaksud demikian – ternyata juga menghasilkan kemiskinan baru. Sungguhlah tragis.
Ini semua akibat Indonesia yang menjalankan praktek ekonomi liberal sehingga menempatkan korporasi sebagai aktor utama dalam segala sektor pertanian, mulai dari alat produksi, cara produksi, hingga distribusi pertanian. Di sisi lain keadaan petani kecil makin terjepit. Perampasan lahan milik petani yang dibarengi dengan intimidasi dan teror kepada petaniterjadi dimana-mana. Alih-alih menjalankan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang digadang-gadangkan pemerintah SBY sejak 2007, membagikan lahan terlantar bagi petani kecil yang memberi makan masyarakat dunia, pemerintah hingga detik ini justru terus menghasilkan UU yang tidak berpihak ke petani.
Menurut Zubaidah, petani perempuan SPI asal Kabupaten Asahan Sumatera Utara, dalam berbagai polemik yang dihadapi oleh petani tersebut, “perempuan” adalah pihak yang mendapatkan dampak cukup besar. Bergesernya praktek budaya pertanian yang arif kearah pertanian konvensional, maraknya konversi lahan pertanian ke perkebunan jelas – jelas memangkas peran perempuan dari dunia pertanian.
“Dunia pertanian secara filosofis dikelola oleh petani perempuan merupakan penopang pemenuhan pangan keluarga, akan tetapi ketika pertanian berubah menjadi perkebunan, kepentingan pasar telah mengambil peran, sistem pertanian keluarga beralih menjadi sistem agribisnis, yang hanya dikuasai segelintir pemodal saja. Akibatnya terjadi kelangkaan dan kenaikan harga pangan yang cukup membuat kepala kami ibu-ibu pusing tujuh keliling,” papar Zubaidah yang juga Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Utara di Serang, Banten (01/03).
Hal senada diungkapkan oleh Siti Inayah, petani perempuan SPI asal Pati, Jawa Tengah. Menurutnya selama ini keterlibatan petani perempuan didekonstruksikan sebagai kaum yang lemah dan dianggap sebagai pelengkap, dengan kondisi tersebut petani perempuan masih menempati posisi yang paling dipinggirkan dari berbagai kebijakan, terlebih kebijakan yang berpihak kepada petani perempuan.
“Padahal peran yang diambil oleh petani perempuan saat ini dalam sektor pertanian dan perjuangan tani merupakan motor pendorong bagi perubahan sosial yang dicita-citakan kaum tani,” tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, Henry Saragih, Ketua Umum SPI menyampaikan Forum Petani Perempuan ke-II SPI dilaksanakan untuk mengawali rangkaian acara Kongres ke-IV SPI pada 2-5 Maret 2014 di Serang, Banten.
“Forum Petani Perempuan ke-II SPI ini bertujuan untuk penguatan kader petani perempuan serta membangun kesadaran petani perempuan terhadap hak-haknya sebagai petani, merumuskan berbagai rekomendasi untuk penguatan dan pemberdayaan petani perempuan, serta mendorong pengarusutamaan gender dalam seluruh sektor kehidupan berbangsa bernegara,” ungkap Henry di Serang, Banten (01/03).
Henry menambahkan, kongres ini akan menghasilkan deklarasi petani perempuan sebagai seruan terbuka kepada publik.
“Acara ini dilaksanakan Sabtu 1 Maret 2014 di Balai Besar Latihan Kerja Industri Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Serang, Banten yang diikuti oleh seratusan peserta dari 20 provinsi di Indonesia,” tambahnya.
Kontak Selanjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668
Zubaidah – Ketua BPW SPI Sumatera Utara 0813 7083 8810