JAKARTA. Pada Jum’at 27 Februari 2015, telah terjadi penculikan petani bernama Indra di Desa Lubuk Mandarsah, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi oleh satuan pengamanan (URC) perusahaan PT. Wira Karya Sakti (WKS)—anak perusahaan PT. Sinarmas Foresty. Keesokan harinya, Indra telah ditemukan tewas secara mengenaskan.
Kejadian ini merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), terutama hak-hak mendasar kaum tani. “Hak hidup, berserikat, mengeluarkan pendapat, serta akses pada keadilan telah dilanggar,” ujar Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), di Jakarta, sore ini (02/03).
“Apapun alasannya, tindakan kekerasan tidak dapat diterima, apalagi sampai jatuh korban jiwa,” kata Henry lagi. Kasus ini bisa jadi terkait dengan konflik agraria antara petani dan PT. WKS yang sudah terjadi menahun di Kabupaten Tebo. Setidaknya sejak 2007, terjadi ketegangan antara warga Tebo dengan PT. WKS terkait ekspansi lahan perkebunan mereka.
Ironisnya, negara sering tak hadir dalam kasus pelanggaran hak asasi petani seperti di Tebo ini. Pemerintah setempat, polisi dan bahkan angkatan bersenjata tak cepat membela petani. Kawasan perkebunan dijadikan teritori kekuasaan—seringkali dijaga satuan pengamanan, preman bahkan paramiliter. “Seperti yang terjadi pada Indra dan jutaan petani lain di daerah konflik agraria, mereka yang berjuang untuk hak hidup dari tanah, dari hasil tanaman pangan, harus berhadapan langsung dengan preman, paramiliter di daerah konflik agraria—hampir tanpa perlindungan,” terang Henry.
SPI menilai penyelesaian konflik agraria di Indonesia dan usaha pencegahaan serta pemulihan konflik sangat jauh panggang dari pada api. Sementara itu, Konstitusi RI dan UU Pokok Agraria No. 5/1960 telah menjamin tanah untuk petani. Amanah itu diperkuat dengan Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk menjamin lahan pertanian pangan dari ancaman ekspansi alih fungsi lahan besar-besaran, Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan yang berisi mengenai pengalokasian lahan dan sumber daya air kepada petani dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang mengatur mengenai penjaminan hak petani termasuk mendistribusikan lahan paling banyak 2 hektar kepada petani. Henry Saragih menambahkan lagi, “Hebatnya, instrumen hukum tersebut bahkan saat ini didukung dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang menempatkan kedaulatan pangan dan Reforma Agraria untuk redistribusi lahan seluas 9,6 juta ha untuk petani sebagai program proritas”.
Namun di lapangan, terutama di daerah-daerah konflik agraria, negara kerap tak hadir. Pada Tahun 2014, SPI mencatat telah terjadi 29 konflik terbuka yang mencuat ke permukaan, 114 konflik masih terus berkecamuk di akar rumput, dan ribuan kasus konflik agraria masih mendekam seperti fenomena gunung es. Dari 143 kasus di atas, telah jatuh korban tewas 2 orang petani, 90 orang mengalami tindak kekerasan,89 orang ditahan/dikriminalisasi, serta ribuan orang terusir dari lahan pertaniannya. “Dari gambaran ini, jelas konflik agraria adalah bom waktu di daerah pedesaan. Jumlahnya banyak, skalanya besar, serta melibatkan populasi petani dan rakyat pedesaan yang besar. Jika negara terus tidak hadir, maka kasus Tebo akan terus berulang,” pungkas Henry.
SPI mengutuk tindak kekerasan yang dilakukan PT. WKS kepada petani Indra yang tewas di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi. SPI juga bersolidaritas dengan organisasi tani dan pedesaan lain untuk membantu petani Tebo. Kami mendesak negara segera hadir untuk membela petani di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi. Dan kepada aparat, pihak yang berwajib untuk secepat-cepatnya memproses, mengadili pelaku tindak kekerasan. Hukum dan keadilan harus ditegakkan.
Dalam waktu dekat, pemerintah harus bekerja ekstra keras dan cepat untuk menyelesaikan konflik agraria di nusantara. Sudah banyak rekomendasi dari organisasi tani seperti pengadilan ad hoc, percepatan agenda reforma agraria, serta revisi UU yang merugikan petani (dan lebih menguntungkan perusahaan perkebunan, seperti UU Perkebunan). Petani butuh situasi aman dan kondusif untuk kelangsungan hidup dan memproduksi pangan bagi rakyat Indonesia.
Kontak Selanjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668