JAKARTA. Menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Perkara Nomor: 50/PUU-X/2012 terkait judicial review UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang dimohonkan melalui Tim Advokasi Anti Perampasan Tanag Rakyat (pemohon 13 organisasi masyarakat dan satu pemohon perorangan) yang dibacakan terbuka dalam sidang Pleno MK, Rabu (13/2).
UU No.2 Tahun Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, bagi para pemohon pada pokoknya menyebutkan: 1). Tidak sinkronnya antara judul dengan isi UU tersebut. Judulnya pengadaan tanah yang secara norma harusnya sukarela, namun ternyata isinya adalah seperangkat kewajiban pelepasan tanah oleh warga negara. 2) Tidak jelasnya perintah Pasal 9 UU No.2 Tahun 2012 terkait pentingnya memperhatikan keseimbangan natara kepentingan pembangunan dengan kepentingan masyarakat dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum. 3) Pasal 10 UU No.2 Tahun 2012 memasukkan klasifikasi jalan tol dan pelabuhan (peti kemas dan pariwisata) ke dalam kategori pembangunan untuk kepentingan umum. Padahal kita ketahui bersama, jalan tol adalah tidak termasuk fasilitas kepentingan umum, karena sifatnya eksklusif dan terbatas akses masyarakat umum dalam penggunaannya, begitu juga dengan pelabuhan-pelabuhan komersial. 4) Pasal 14 UU No. 2 Tahun 2012 jelas sekali membatasi hak partisipasi warga masyarakat khususnya warga masyarakat setempat dan warga terdampak dari pembangunan sejak tahapan perencanaannya. Kesemuanya bertentangan dengan {asal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) dan pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945.
Bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya memandang bahwa gugatan pemohon tidak beralasan secara hukum dan menyatakan bahwa ketentuan pasal-pasal yang diajukan oleh para pemohon kesemuanya konstitusional terhadap UUD 1945. MK memandang bahwa keseluruhan pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya oleh para pemohon tidak beralasan hukum. Karena secara normatif bahwa penyusunan UU ini justru lebih baik dibanding peraturan sebelumnya yang mengatur pengadan tanah.
Sehubungan dengan hal itu, kami dari para pemohon yang tergabung dalam Karam Tanah (Koalisi Rakyat Anti Perampasan Tanah Rakyat) bersama Tim Advokasi Perampasan Tanah Rakyat memandang perlu untuk menyikapi putusan MK tersebut.
Pertama, putusan MK ini kontroversial karena, putusan MK terhadap PUU No. 50/PUU-X/2012 ini sama sekali dalam pertimbangan hukum dan pendapat hukum mahkamah tidak memperhatikan dan memasukkan keterangan-keterangan ahli yang telah diajukan pemohon. Sehingga keberadaan para ahli dalam memberikan keahliannya di hadapan Majelis Mahkamah Konstitusi seperti ada namun tiada. MK juga tidak jeli dalam membaca keseluruhan gugatan. Menurut kami, ini adalah prseden buruk bagi perkembangan hukum serta kewibawaan MK ke depan.
Kedua, putusan MK ini melegalisai negara demi ekspansi modal untuk merampas tanah-tanah rakyat. Mengapa demikian? Karena UU ini sejatinya adalh pemberi jalan bagi proyek-proyek besar infrastruktur yang termanifestasi dalam program MP3EI yang secara luas ditentang oleh para pelaku gerakan pembaruan agraria dan masyarakat korban konflik agraria. Kami memandang bahwa, sejatinya UU ini bukan yang diharapkan lahir oleh rakyat Indonesia khususnya para petani, nelayan, buruh, kaum miskin kota dan masyarakat yang tak punya tanah, karena yang ditunggu dan diharapkan lahir adalah justru kebijakn pembaruan agraria sebagai penjabaran teknis dari amat UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria. Demi mengelak dari tanggung jawabnya atas kewajiban pembaruan agraria, negara cq. Pemerintah dan DPR justru mengalihkan tanggung jawabnya kepada rakyat dengan mewajibkan rakyat tunduk pada keinginan modal yang difasilitasi negara untuk melepaskan hak-hak atas tanahnya. Ini menimbulkan ketidakadilan agraria dan pelanggaran hak-hak kosntitusional warga negara.
Ketiga, bahwa putusan MK harus dijadikan persiapan advokasi masif terhadap setiap penggusuran dan diperlukannya politik agraria yang ofensif mendorong agar negara beserta aparatusnya segera sadar atas kewajiban yang telah dimandatkan rakyat, UUD 1945, UUPA 1960, dan Undang-Undang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Buadaya untuk segera melaksanakan agenda besar Pembaruan Agraria Sejati.
Jakarta, 14 Februari 2013
Serikat Petani Indonesia (SPI) – Indonesia Human Right Committe for Social Justice (IHCS) – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) – Bina Desa – KIARA – Solidaritas Perempuan – WALHI – API – Sawit Watch – KruHA – Pusaka – ELSAM – IGJ – Serikat Nelayan Indonesia (SNI) – dan Para Advokat Tim Advokasi Anti Perampasan Tanah Rakyat
Kontak lebih lanjut:
Agus Ruli Ardiansyah – Ketua Departemen Polhukam SPI – 0878 2127 2339