MAKASSAR. Selama ini Indonesia menganut kebijakan perekonomian negara yang berkiblat ke sekularisme dan persaingan bebas. Kebijakan perekonomian Indonesia selalu mengacu kepada pertumbuhan ekonomi global yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Artinya selama ini kebijakan perekonomian negara tidak pernah memperhatikan aspirasi riil para pelaku perekonomian di kalangan menengah, apalagi kalangan menengah ke bawah.
Setidaknya hal tersebut merupakan pokok pembicaraan dari diskusi “Kedaulatan Pangan dan Perlawanan Terhadap Neoliberalisme” yang diselenggarakan oleh Lajnah Ta’lief wan Nasr Nahdlatul Ulama (LTNNU) Jawa Timur, PP Lakpesdam NU dan Serikat Petani Indonesia (SPI) di Stand PBNU pada Muktamar ke-32 NU, Asrama Haji Sudiang Makassar, Kamis (25/3).
Profesor Muhammad Yunus (Universitas Hasanuddin) selaku pembicara pada diskusi ini menegaskan bahwa perekonomian Indonesia lebih dikendalikan oleh persaingan bebas yang berimplikasi pada individualisme. Tentu saja dengan kebijakan ini berarti negara tidak pernah berpijak pada prinsip kebersamaan dan keadilan. Hal ini berarti rakyat miskin yang sebagian besarnya adalah warga Nahdliyin dan para petani kecil merupakan pihak yang paling dirugikan oleh kebijakan ekonomi negara.
Beliau juga menyebutkan bahwa saat ini di dunia pertanian kita terjadi perubahan paradigma pemikiran dari pertanian yang berbasis keluarga ke pertanian berbasis industri yang justru akan semakin meminggirkan para petani kecil.
Diskusi ini juga mengupas tentang kebijakan pemerintah yang cenderung tidak adil dan tidak memihak petani. Hal ini dinyatakan oleh Mohammad Maksum dari NU yang juga cukup mengerti mengenai kondisi permasalahan pertanian dan kebijakan pertanian di Indonesia. Beliau menyebutkan bahwa kebijakan pangan murah dan orientasi pemerintah yang cenderung mengimpor hasil pertanian cukup merugikan petani kecil. “Perilaku yang beriorientasi impor ini bahkan dipermudah dengan tidak ada bea masuk dan PPN bagi produk-produk pertanian yang masuk ke Indonesia ini” tambahnya.
Beliau juga menambahkan bahwa NU harus kembali ke khittahnya untuk mengurus basis massanya di pedesaan dan mendesak pemerintah mengambil kebijakan ekonomi kerakyatan dengan kembali ke pertanian.
Sekretaris umum SPI, Zainal Arifin Fuad menjelaskan bahwa saat ini orientasi kebijakan pemerintah sangat jauh dari harapan untuk mensejahterakan rakyat. Zainal menjelaskan bahwa kebijakan produksi pemerintah ssat ini cenderung pro pada kepentingan para kaum neoliberal.Undang-Undang (UU) Penanaman Modal Asing, UU Sumber Daya Air, UU Perkebunan, sampai Instruksi Presiden (Inpres) tentang investasi pangan skala luas (food estate) merupakan bukti bahwa neoliberalisme cukup dimanjakan di negeri ini.
Sementara pada sisi pasar dan distribusi, pemerintah juga terperangkap dalam kebijakan neoliberal dibawah cengkeraman IMF (Badan Moneter Internasional), Bank Dunia, WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) dan Perdagangan Bebas (FTA), serta tidak ketinggalan pula hasil kesepakatan internasional atas perubahan iklim. Sebagai akibatnya, Indonesia tidak mampu menghindari serbuan input-input produksi dan produk-produk pertanian impor – yang tentu saja semakin memarjinalkan produk pertanian dalam negeri. Akibatnya petani menjadi semakin miskin dan tergantung terhadap produk dan inpit produksi impor.Dengan demikian, kedaulatan petani atas tanah, benih, air dan bahkan kedaulatan pun menjadi terkikis.
Zainal menambahkan bahwa NU sebagai organisasi massa keagamaan terbesar dengan basis-basis massa yang terdapat di pesantren dan pedesaan juga memiliki tanggung jawab untuk turut berjuang melawan gerakan neoliberalisme dan neokolonialisme ini. “NU dan SPI bisa menjadi corong utama untuk perjuangan membela rakyat ini” tambah Zainal.