PALEMBANG. Sejak 10 tahun yang lalu, Provinsi Sumatera Selatan mempunyai lahan lebak yang sudah ditanami padi paling luas di Indonesia yaitu 146.279 ha, dari total luas baku lahan lebak yang ada sebesar 157.846 hektar. Sebagian besar lahan yang sudah ditanami ini tersebar di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) seluas 45.687 atau sebesar 31,23 persen, Kabupaten Ogan Ilir seluas 40.562 ha atau sebesar 27,73 persen, dan Kabupaten Banyuasin 16.705 atau sebesar 11,42 persen. Sedangkan sisanya sebesar 29,62 persen tersebar di Kabupaten Musi Banyuasin, Muaraenim, Ogan Komering Ulu (OKU), OKU Timur, Musi Rawas, Prabumulih dan Kota Palembang(Alihamsyah,2004 dan BPS Kabupaten OKI, 2004).
Negara Tidak Hadir Dalam Pengembangan Kawasan Lebak
Lahan Rawa, baik rawa lebak maupun pasang surut merupakan sebuah kawasan sub-obtimal (marjinal) bila dikelola menjadi lahan pertanian. Untuk itu, dalam pemanfaatan kawasan tersebut perlu dilakukan reklamasi atau perbaikan dan peningkatan kualitas lahan. Sebagian besar lahan rawa yang ada di Sumatera Selatan sudah direklamasi. Pemerintah lebih memperhatikan rawa pasang surut dibandingkan dengan rawa lebak. Ketimpangan perhatian pemerintah tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. berikut ini.
Serikat Petani Indonesia (SPI) yang sebagian besar anggotanya adalah petani padi di lahan rawa lebak, khususnya di Kabupaten OKI, Ogan Ilir dan Banyuasin sangat menyesalkan ketidakhadiran negara atau pemerintah dalam mengembangkan kawasan tersebut. Apalagi dari kawasan ini (Kabupaten OKI) ada Tokoh nasional (Hatta Rajasa) yang telah 15 tahun berada di pemerintahan pusat dan saat ini mencalonkan diri sebagai wakil presiden.
Ketidakhadiran pada kawasan tersebut telah mengakibatkan produktivitas usahatani dan pendapatan petani menjadi rendah bila dibandingkan dengan kawasan rawa pasang surut. Selain itu rata-rata kepemilikan lahan petani juga sempit karena adanya ancaman dari ekspansi perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Di Kabupaten OKI akibat ancaman tersebut telah mengakibatkan berkurangnya lahan sawah petani seluas 25.594 hektar dalam 10 tahun terakhir. Untuk melihat perbandingan kepemilikan lahan tingkat produktivitas dan pendapatan petani di lahan rawa lebak dan pasang surut dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pendapatan keluarga petani di kawasan rawa lebak masih sangat rendah. Beberapa kendala yang dihadapi petani lebak antara lain keterbatasan dalam sarana penunjang, input produksi, akses terhadap permodalan yang terbatas. Hal ini disebabkan oleh lemahnya dukungan kelembagaan dari pemerintah dan minimnya minat stakeholder lain dalam mengembangkan kawasan lebak.
Pengalaman SPI Membangun Kedaulatan Pangan
Di tengah minimnya dukungan pemerintah, Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumsel telah mencoba mengembangkan inisitatif membangun kedaulatan pangan di Kawasan rawa lebak. Konsep kedaulatan pangan (Food Sovereignty) ini merupakan konsep tandingan dari konsep ketahanan pangan (Food Security). Gagasan kedaulatan pangan sendiri pertama kali dipromosikan di depan publik oleh La Via Campesina (organisasi petani international), pada World Food Summit yang dilaksanakan pada bulan November 1996 di Roma.
Di tingkat basis anggota SPI, kedaulatan pangan mulai diperkenalkan pada tahun 2001. Dasar dari konsep ini adalah membangun ekonomi pangan lokal yang berdasarkan pada proses produksi dan pemasaran pangan di tingkat lokal. Kebijakan yang diperlukan untuk mendukung prinsip dasar tersebut antara lain: (a) meningkatkan keadilan terhadap akses sumber-sumber agraria, tanah, air, dan alat-alat produksi lainnya, (b) melindungi pasar dalam negeri dari serangan harga impor murah, (c) mengembangkan sistem pertanian organik berbasis keluarga, dan (d) membatasi peran industri yang berorientasi pertanian ekspor.
Konsep kedaulatan pangan dalam proses produksi usahatani padi lebak adalah sistem pertanian organik atau pertanian berkelanjutan yang berbasis pada keluarga petani, yaitu penggunaan benih unggul lokal yang berkualitas, penggunan pupuk organik, pestisida alami, serta pengolahan tanah dengan bajak sapi atau kerbau untuk mengurangi penggunaan energi fosil dan ketergantungan terhadap mesin impor.
Beberapa aksi nyata yang telah dilakukan antara lain melakukan advokasi penghapusan lelang lebak lebung, mengembangkan sistem pertanian organic dan penggunakan benih lokal sebagai pijakan untuk mempromosikan kedaulatan petani atas benih. Sejak tahun 2007 petani SPI di OKI telah mengidentifikasi kembali benih-benih lokal yang masih diusahakan petani di kawasan lebak. Hasilnya, kami menemukan beberapa benih lokal seperti Padi Putih, Padi Sibur, Padi Sawah Kanyut, Padi Sawah Kemang, Padi Ampay, dan Padi Salek. Benih-benih ini masih digunakan oleh sebagian petani SPI sampai saat ini.
Dari sisi ekonomi, gagasan kedaulatan pangan yang kami kembangkan menggunakan prinsip ekonomi yang bersifat nasionalistik. Hal ini dapat disetarakan dengan prinsip ekonomi pancasila yang pernah digagas Mubyarto yaitu: (a) roda ekonomi digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral, (b) ada kehendak kuat dari masyarakat untuk mewujutkan kemerataan sosial (egalitarian) sesuai asas kemanusiaan, (c) nasionalisisme menjiwai setiap kebijaksanaan ekonomi, (d) koperasi merupakan sokoguru perekonomian dan merupakan bentuk paling konkrit dari usaha bersama.
Berdasarkan prinsip ekonomi diatas, dalam upaya meningkatkan akses permodalan petani dikembangkan kegiatan simpan pinjam di bawah satu unit program yang bernama Lembaga Keuangan Petani (LKP), baik berupa koperasi maupun credit union, yang memberikan pelayanan dan fasilitas keuangan mikro. Berbeda dengan kredit perbankan, kegiatan ini lebih difokuskan pada petani miskin dan paling miskin agar terlepas dari jeratan rentenir, serta dilakukan dengan pendekatan kelompok. Selain itu, kegiatan ini dijalankan berdasarkan pada prinsip pendidikan untuk mendorong kearah kemandirian. Mottonya adalah, direncanakan dengan pendidikan, dilaksanakan dengan pendidikan, dan dievaluasi dengan pendidikan.
SPI juga membangun kembali lumbang pangan yang keberadaannya tidak hanya sebagai bangunan fisik untuk menyimpan padi, tetapi juga mengandung nilai gotong royong sertamempunyai makna simbolik dan spiritual. Lumbung seperti ini perlu dipertahankan karena lahir dari kearifan lokal masyarakat sebagai satu institusi sosial yang dapat menjadi modal sosial dalam membangun kedaulatan pangan. Saat ini, Lumbung pangan seperti ini semakin tergerus oleh moderenisasi dan konsep pemerintah, dimana lumbung pangan diartikan sebagai tempat penyimpanan, pendistribusian, pengolahan dan perdagangan bahan pangan. Perubahan yang mendasar dari prinsip lumbung pangan tersebut adalah soal perdagangan pangan. Hal ini menunjukkan bahwa pangan tidak lagi dipandang sebagai komoditas tradisional petani tetapi sudah dijadikan komoditas bisnis.
Dalam pelaksanaan di lapangan, SPI menghadapi kendala tidak sedikit, selain tidak ada dukungan pemerintah, arus besar kebijakan pemerintah masih menggunakan konsep ketahanan pangan dengan menggunakan teknologi konvensional, seperti penggunaan pupuk kimia, pestisida kimia, dan benih hibrida. Ditambah lagi dengan kebijakan perdagangan pangan yang semakin liberal, menyerah pada rezim perdagangan dibawah World Trade Organizations (WTO), dan berbagai Free Trade Agrement (FTA). Kebijakan inilah yang mengakibatkan petani di kawasan rawa lebak semakin hari semakin tidak berdaya. Atas kondisi ini kami berharap terjadi perubahan kepemimpinan nasional yang lebih berpihak pada petani, khususnya petani rawa lebak.
Untuk itu kami akan melepaskan ikatan kedaerahan dalam menentukan pilihan dalam Pilpres 9 Juli 2014.
Gagasan Memperkuat Kedaulatan Pangan
Untuk memperkuat kedaulatan pangan di kawasan rawa lebak, kami anggota SPI dan massa tani di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Ogan Ilir dan Banyuasin menyatakan gagasan sebagai berikut:
Gagasan kedaulatan pangan ini kami percayakan pada jokowi-jk untuk dijalankan sebagai mandat massa tani di kawasan rawa lebak. atas mandat ini kami akan menggalang dukungan untuk memenangkan jokowi dan jusuf kalla sebagai presiden dan wakil presiden republik indonesia periode 2014-2019.
Palembang, 5 Juli 2014
DPW Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Selatan
DPC SPI Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI)
DPC SPI Kabupaten Ogan Ilir
DPC SPI Kabupaten Banyuasin