Roma (15/11). Paralel dengan pertemuan pangan dunia (World Food Summit) FAO yang dihadiri lebih dari 60 kepala negara, perwakilan pemuda tani, dan pemuda pedesaan dari berbagai negara berkumpul di Città dell’ Altra Economia (Kota Ekonomi Alternatif) kota Roma untuk menyuarakan pendapat mereka yang akan dibawa dalam perundingan resmi FAO.
Dalam forum pemuda ini dibahas mengenai siapa yang mengontrol sumber daya agraria, bagaimana model produksi pertanian yang hendak dibangun di masa depan dan siapa yang berhak atas akses terhadap pangan. Saat ini diberbagai negara di dunia nampak jelas betapa semakin sedikit pemuda yang tinggal dan bekerja di pertanian.
Kebijakan pertanian yang ada saat ini tidak memberikan peluang bagi pemuda bekerja di pertanian. Semakin sedikitnya akses terhadap sumber daya agraria tidak memberikan pilihan bagi pemuda selain keluar dari pertanian dan mencari pekerjaan lain.
Di Asia, Amerika Latin, Afrika bahkan di Eropa dan Amerika Serikat terjadi migrasi besar-besaran dari desa ke kota-kota besar. Pemuda kehilangan motivasi nya untuk tinggal dan bekerja di pertanian. Namun di kota tidak cukup lapangan pekerjaan yang tersedia, dan pada akhirnya banyak mendorong pemuda ke dalam tindak kriminal seperti yang banyak terjadi di kota-kota besar di Amerika Latin, Asia, dan Afrika. “Seakan-akan jika kita tinggal di pertanian kita dikutuk untuk menjadi miskin selamanya”, ujar Melanie pemuda tani dari Senegal.
Reuben Sousssa dari Departemen Sumber daya alam dan Tanah FAO yang mengikuti pertemuan ini menjelaskan betapa peran pemuda semakin dilupakan dalam kebijakan pertanian global. Dahulu di FAO bahkan terdapat divisi khusus yang menangani pemuda tani dan pedesaaan, serta bagaimana melibatkan pemuda dalam berbagai proyek pertanian yang diadakan FAO, namun beberapa tahun terakhir divisi ini dihapuskan.
Alberto Gomez, salah satu pimpinan La Via Campesina menyatakan ” Negara yang tidak bisa menyediakan pangan bagi penduduknya adalah negara yang lemah, dan masalah pangan erat dengan masalah keamanan negara”. Dengan demikian, “Dibutuhkan kebijakan yang menjamin pemuda untuk tetap bertani karena pemuda tani memainkan peranan penting dalam menjamin kedaulatan pangan suatu bangsa”. Tambah Alberto Gomez.
Selain itu, Achmad Ya’kub, Ketua Depertemen Kajian Strategi Serikat Petani Indonesia, yang juga mewakili komisi pemuda Via Campesina Asia Tenggara dan Asia Timur mengatakan “Kebijakan-kebijakan yang meminggirkan pemuda dari pertanian bertujuan untuk mengurangi peran petani dalam produksi pangan. Penguasaan produksi pangan saat ini semakin dikonsentrasikan di tangan perusahaan-perusahaan pangan dan agribisnis”.
Melihat hal itu, Ya’kub menekankan pentingnya pendidikan untuk membangun kesadaran pentingnya pertanian dan juga pelatihan teknik pertanian bagi pemuda yang ingin kembali bertani. Hal tersebut juga akan menjadi usulan yang akan disampaikan dalam forum FAO, bagaimana pentingnya kebijakan pangan dan pertanian global yang mendorong kembalinya pemuda untuk kembali ke pedesaan dan pertanian. Selain itu “Pendidikan mengenai pertanian berkelanjutan hendaknya menjadi bagian dari kurikulum formal di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi”. Ungkap Ya’kub.