JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang (UU) No.27/2007 yang diajukan oleh Koalisi Tolak Hak Pengusahaan Perairan Pesisir sehingga Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) dinyatakan inkonstitusional.
“Menyatakan mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” ungkap Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Moh. Mahfud MD dalam sidang putusan uji materi UU No.27/2007 yang digelar di Gedung MK, Jakarta, (16/05).
Menurut Mahkamah Kosntitusi (MK), pemberian HP3 oleh pemerintah kepada pihak swasta adalah bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsp kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
MK menyatakan, pemberian HP3 melanggar prinsip demokrasi ekonomi karena akan mengakibatkan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi wilayah HP3 yang dikuasai oleh pemilik modal besar.
Sebaliknya bagi masyarakat nelayan tradisional yang sebagian besar berdiam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan menggantungkan hidup dan kehidupannya pada sumber daya pesisir akan tersingkir.
“Dalam kondisi yang demikian, negara telah lalai menyelenggarakan tanggung jawabnya untuk melaksanakan perekonomian nasional yang memberikan perlindungan dan keadilan rakyat,” katanya.
Budi Laksana dari Serikat Nelayan Indonesia (SNI) menegaskan bahwa jika saja uji materi Undang-Undang (UU) No.27/2007 ditolak oleh MK maka akan semakin meminggirkan nelayan kecil. Budi menjelaskan bahwa UU ini memungkinkan pengeksploitasian pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan dasar laut oleh sektor swasta bahkan oleh pihak asing untuk waktu 60 tahun akumulatif.
“HP3 ini akan semakin menggiatkan komersialisasi perairan pesisir dan menyebabkan akses pengelolaan sumber daya kelautan dikuasai oleh pemilik modal, termasuk asing, hal ini pastinya akan menyebabkan status kemiskinan di wilayah pesisir semakin parah” tegas Budi.
“Alhamdulillah judicial review dikabulkan, masih ada secercah harapan di negeri kita ini,” tambah Budi.
Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) menyatakan bahwa dengan dikabulkannya uji materi Undang-Undang (UU) No.27/2007 berarti telah menyelamatkan nasib nelayan-nelayan kecil di Indonesia.
Henry juga mengungkapkan bahwa putusan MK ini menguatkan pengakuan atas masyarakat hukum adat sesuai Pasal 18B UUD 1945 yang mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Hal ini dapat mendorong pengakuan terhadap kelompok masyarakat rentan lainnya seperti petani, nelayan, buruh, yang selama ini belum terakomodir dalam UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
“Masih banyak Undang-Undang (UU) lain yang merugikan masyarakat kita. Oleh karena itu marilah kita jadikan momentum ini sebagai momentum untuk memperkuat gerakan rakyat baik itu petani, nelayan, dan semua elemen masyarakat lainnya untuk melakukan perlawanan terhadap kaum neoliberalisme dan kapitalisme internasional dari pelosok hingga dunia.” tegas Henry.
Pengabulan judicial review ini berlangsung lebih dari setahun, setelah sebelumnya SPI bersama Koalisi Tolak Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) melakukan aksi judicial review dan menolak Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), bersama KIARA, KPA, IHCS, API, SNI, BINA DESA, SALUD, LBH Jakarta, YLBHI, COMMITS, JATAM, KNTI, dan WALHI di Mahkamah Kontitusi, Jakarta, pada tanggal 13 Januari 2010.