Pelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia akan semakin sulit ditengah menguatnya neoliberalisme. Hal itu tercetus dalam diskusi peringatan hari tani yang ke 49 yang diadakan Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama organisasi lainnya seperti WALHI, KPA, dan SP PLN di Jakarta (29/9).
Ketua umum SPI, Henry Saragih, mengemukakan undang-undang yang selama ini ada merupakan upaya untuk melegitimasi proses liberalisasi yang memperlemah perjuangan pembaruan agraria. Hal ini bisa dilihat dari berkembangnya usaha-usaha swasta yang hampir semuanya melegitimasi kehadiran korporat besar. Untuk melaksanakan pembaruan agraria harus ada proses legislasi yang berpihak pada rakyat. Tanpa pembaruan agraria, kedaulatan pangan yang dicita-citakan kaum tani akan sulit terwujud.
Sementara itu, menurut Iwan Nurdin dari KPA, Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono lima tahun lalu tidak melalui perencanaan yang matang. Pencanangan program RPPK tersebut sangat berkaitan erat dengan proyek-proyek besar yang dimiliki oleh pengusaha.
menjalankan program RPPK tanpa pembaruan agraria akan gagal menyejahterakan petani. Mengingat petani di Indonesia kepemilikan lahannya sangat minim dan akses mereka terhadap alat produksi rendah. Padahal, menurut data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) ada sekitar 7,1 juta hektare tanah terlantar. Pada kesempatan yang sama Direktur WALHI Berry Nadian Furqon, mengatakan dari sekitar 175 juta hektare lahan Indonesia, 91% daratannya dikuasai oleh korporat asing.
Oleh karena itu, Ketua Kajian Strategis SPI, Achmad Ya’kub berpendapat untuk melaksanakan pembaruan agraria perlu ada sinergi antara organisai rakyat, tidak sebatas kepada kaum tani saja. Seluruh gerakan rakyat harus bersatu melawan untuk melawan kekuatan yang menghalang-halangi pembaruan agraria. Juga perlu ada posisi tawar politik yang kuat agar perjuangan rakyat bisa lebih efektif.