JAKARTA. Belasan petani perempuan Korea Selatan yang tergabung dalam Korean Woman Peasants Association (KWPA, Asosiasi Petani Perempuan Korea Selatan, anggota La Via Campesina) melakukan kunjungan dan perbandingan pertanian agroekologi baik secara teknis maupun kebijakan dengan petani anggota Serikat Petani Indonesia (SPI) di Jakarta dan Jawa Barat (22 – 26 Februari 2016).
Yun Jeong Won selaku Manajer Eksekutif Organisasi KWPA dalam perkenalannya menyampaikan, KWPA sudah berada di sembilan provinsi dan 60 komunitas di Korea Selatan.
“Karena KWPA adalah organisasi petani perempuan, jadi seluruh anggotanya wanita. Umumnya para suami menggagrap di lahan yang lebih luas. Sementara itu petani perempuan menggarap di lahan yang lebih kecil. KWPA membuktikan, petani perempuan juga bisa berorganisasi dan berkarya,” papar Yun.
Berbicara soal benih, Yun menjelaskan, petani KWPA menggunakan benih lokal, sedangkan pemerintah lebih mendukung benih dari perusahaan. Walaupun demikian, di sisi lain Pemerintah Korea Selatan juga seolah membiarkan KWPA untuk tetap menggunakan benih lokal.
“Kami di Korea Selatan menghadapi semacam benih GMO yang sedang dikembangkan pemerintah yang dikenal dengan terminator seed,” tuturnya.
Berbicara tentang agroekologi, Yun menerangkan, KWPA menerapkan program “sisters garden” mulai tahun 2009 dengan maksud mengubah sistem pertanian tidak hanya untuk bisnis. Program ini terdiri dari 16 komunitas dan partisipan sebanyak 32 orang.
“Peran sister garden yaitu untuk berbagi (menyebarluaskan) tentang agroekologi, dengan melakukan pelatihan seperti penggunaan input rendah biaya,” katanya.
Yun melanjutkan, sama halnya dengan petani SPI Indonesia, petani KWPA di negaranya juga mengganti model dari pertanian konvensional ke pertanian agroekologi. Salah satunya yaitu dengan menggunakan pupuk alami yang terbuat dari rumput liar dan pestisida alami dengan bahan baku dari soda api.
“Pelatihan pupuk dan pestisida alami KWPA lakukan pada tahun 2014 dan pada tahun 2015 KWPA melakukan penelitian tentang ekologi tanah. Jika pertanian masih menggunakan kimia maka tanah akan mati,” tegasnya.
“Kami juga menggunakan mesin ekstraksi yang awalnya digunakan untuk mengolah obat herbal menjadi mesin pencacah untuk bahan-bahan pestisida dan pupuk alami,” sambungnya.
Mengenai pemasaran, Yun menerangkan kalau KWPA mendirikan semacam koperasi dan produk hasil pertaniannya dijual langsung ke konsumen.
Ketua Departemen Penguatan Organisasi Dewan Pengurus Pusat (DPP SPI) Ali Fahmi mengemukakan, SPI merasa terhormat menerima kunjungan para petani perempuan KWPA dari Korea Selatan.
“Kunjungan dan tukar pengalaman petani ke petani seperti ini adalah metode pendidikan yang cukup efektif,” kata Ali.
Ali menerangkan, untuk menyambut kedatangan saudari-saudari dari Korea Selatan ini, DPP SPI menyiapkan berbagai rangkaian acara, mulai dari diskusi, hingga kunjungan langsung ke lahan petani SPI yang telah menerapkan pertanian agroekologi.
“Untuk mempelajari dan bertukar pengalaman, para petani KWPA datang langsung ke lahan Pak Jaya dan Fandi, petani anggota SPI yang menerapkan agroekologi di Desa Babakan, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat,” tutur Ali.
Ali menyampaikan, para petani KWPA juga bertukar pengalaman tentang pembenihan dan pembuatan pupuk-pestisida alami di Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) SPI di Desa Cijujung, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
“Sebelumnya para petani KWPA ini kita ajak diskusi dengan mengundang perwakilan organisasi mahasiswa pertanian nasional seperti Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia (ISMPI), Perhimpunan Organisasi Profesi Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian Indonesia (POPMASEPI) dan Forum Keluarga dan Komunikasi Himpunan Mahasiswa Agronomi Indonesia (FKK HIMAGRI),” imbuhnya.
Tantan Sutandi, Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Jawa Barat menambahkan, para petani SPI mendapat cukup banyak pelajaran dan pengalaman tentang situasi pertanian dan petani kecil di luar Indonesia
“Satu hal yang sama adalah kondisi petani kecil di Korea Selatan dan Indonesia tidak jauh berbeda, sama-sama berusaha melawan dominasi korporasi pertanian yang meminggirkan petani kecil dan mempengaruhi kebijakan negara, dan sama-sama sedang beralih meninggalkan pertanian konvensional ke pertanian agroekologi tidak hanya ramah lingkungan namun mampu meningkatkan hasil produksi,” tambahnya.