Menuju Kebijakan Pangan Yang Berkeadilan: Refleksi Hari Pangan Sedunia 2016

SPI LAMPUNG PRINGSEWU PANEN BUPATI

Oleh: Tri Hariyono**

Pangan, apapun wujudnya, secara harfiah bukanlah persoalan politik. Dalam kehidupan sehari-hari, pangan umumnya diperlakukan sebagai bahan-bahan yang diperlukan jasmani agar badan manusia bisa survive. Karena anugerahnya Yang Maha Kuasa, sesungguhnya terlalu banyak elemen alamiah yang tersebar di mana-mana, yang segera dapat dikelola untuk “sekedar” menjadi bahan pangan untuk mengganjal perut yang lapar. Tetapi disinilah pangkal persoalannya, karena merupakan kebutuhan jasmani yang tak terelakkan, yang dalam istilah antropologi merupakan the primary determinant of survival bagi umat manusia. Di sini, pangan yang hanyalah sebuah materi, melalui pemaknaan ekonomis, menjadi commodity, sehingga seseorang bisa meraih keuntungan atasnya.

Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki sumber agraria yang melimpah. Hal ini pulalah yang menyebabkan sebagian besar penduduk Indonesia terlibat dalam dunia pertanian. Sekitar 46 persen penduduk Indonesia adalah petani. Namun ironisnya, sebagai negara agraris yang tanahnya subur dan gemah ripah loh jinawi saat ini Indonesia seharusnya tidak memiliki persoalan dalam soal pangan. Tetapi kenyataannya, bukan saja tidak mampu berswasembada pangan, tetapi sebaliknya justru masih berkutat dalam mengatasi krisis pangan. Itulah sebabnya, para penguasa modal, baik domestik maupun asing (perusahaan transnasional atau Trans-National Corporations/TNC), berlomba-lomba menyerbu pasar Indonesia. Indonesia adalah pasar yang menggiurkan untuk pelbagai jenis pangan.

Sejak tahun 2015, kita telah menyaksikan hal yang sebelumnya tidak terbayangkan; konsolidasi, merger, dan akuisisi beberapa perusahaan pangan dan pertanian transnasional seperti Monsanto-Bayer, Dow-DuPont, ChemChina-Syngenta, hingga Agrium Inc-Potash Corp. Dengan konsolidasi ini, berarti hanya empat perusahaan yang mengontrol lebih dari dua-pertiga  pasokan input pertanian dunia. Ini berarti mereka memiliki kemampuan untuk “menyandera” pertanian dan menebusnya dengan keuntungan yang mendulang. Akibatnya, kelaparan dan kemiskinan akan memburuk ketika perusahaan-perusahaan ini mendapatkan keuntungan besar melalui kerahasiaan, menyempitnya keanekaragaman pangan, serta impunitas (keadaan dimana pelaku pelanggaran hukum — biasanya HAM — lolos dari investigasi maupun proses pengadilan, tidak bisa diproses secara hukum) semakin memperketat kontrol mereka atas kebijakan pertanian negara yang berdaulat.

Awal mulanya adalah kebijakan

Cukup tidaknya dan kurang-lebihnya ketersediaan pangan di suatu negara sangat ditentukan oleh kebijakan yang dianutnya. Kebijakan juga mencerminkan sejauh mana sebuah negara menempatkan sumber daya domestik yang dimilikinya. Ketika sebuah kebijakan mengabaikan, bahkan sengaja menyingkirkan, sumber daya domestik yang dimilikinya, maka sumber daya domestik tersebut akan terabaikan. Dan, pelan-pelan menuju kepunahan. Sebaliknya, kalau kebijakan tersebut dirakit dengan memprioritaskan sumber daya domestik, dipastikan sumber daya domestik tersebut terus berkembang. Yang penting, sumber daya domestik tersebut tetap lestari.

aksi petani SPI Langkat

Suatu kebijakan, setidaknya mengandung empat berikut. Pertama, nilai yang melandasi kebijkan tersebut, yang mencakup nilai moral dan nurani. Kedua, pengetahuan (knowledge) yang melandasinya, yang diantaranya pengetahuan tentang sebab-akibat dari keputusan dan segala implementasinya. Ketiga, politik dalam pengertian kepentingan siapa yang dimenangkan-dikalahkan dari kebijakan itu. Keempat, institusi sebagai alat operasional kebijakan itu.

Sampai kini, pelbagai kebijakan pemerintah justru lebih suka “memanen pangan di pasar” daripada “memanen pangan di lahan sendiri”. Kebijakan ketahanan domestik lebih bertumpu pada pasar, bukan lahan. Ini mengakibatkan semakin tidak efisiennya sistem pangan dalam negeri, yang menyebabkan tidak terpakainya sarana dan prasarana produksi selama beberapa masa siklus produksi dan membuat produksi dalam negeri mandek. Dalam jangka panjang, ini menyebabkan produksi pangan dan budaya pangan asli (indigenosis) indonesia tersingkir, dan tragisnya beberapa diantaranya terkuras keluar.

Para pembuat kebijakan selalu mendengungkan alasan: sepanjang kita memiliki dana yang cukup, kebutuhan pangan bisa ditempuh dengan impor. Alasan ini memiliki kelemahan mendasar. Dalam sistem produksi pangan, Indonesia masih menggunakan sistem produksi pangan industrialis yang diterapkan melalui kebijakan pertanian revolusi hijau. Revolusi hijau yang berorientasi pada peningkatan produktivitas melalui modernisasi dan perubahan input produksi telah mengakibatkan semakin besarnya biaya produksi pertanian petani dan semakin tingginya ketergantungan budidaya pertanian pada industri besar di perkotaan. Pengadaan benih, pupuk, pengendali hama, dan alat mesin pertanian harus dibeli dari kota sehingga mengakibatkan perekonomian pedesaan menjadi tereksploitasi.

Sementara itu, pada sisi pengadaan pangan kita menyaksikan serbuan impor bahan pangan, baik beras, sayuran, buah-buahan maupun makanan olahan yang dijual dengan harga yang murah dan dalam jumlah yang banyak, yang distribusinya sampai ke pedesaan. Akibatnya, harga panen para petani menjadi turun dan banyak petani yang mengalami kerugian dan jatuh miskin. Selain itu, tidak diaturnya mengenai dari mana pangan berasal telah pula mengakibatkan berkembangnya industri pangan di perkotaan, terutama investasi dari perusahaan agribisnis pangan transnasional. Hal ini kemudian mengakibatkan desa dan petani tidak lagi menjadi produsen pangan, melainkan sekadar penyedia bahan baku  yang murah serta pasar bagi industri pangan perkotaan.

Dengan demikian, dalam konsep dan kebijakan ketahanan pangan tersebut posisi petani tidak memiliki pijakan yang kokoh sebagai pemasuk pangan nasional. Sebagai akibatnya, masalah kesejahteraan dan kemandirian petani tidak menjadi bagian integral dari konsep dan kebijakan ketahanan pangan nasional.

Kedaulatan Pangan sebagai Kebijakan  

Kebijakan ketahanan pangan nasional sangat penting artinya untuk menjamin kecukupan penyediaan pangan secara nasional. Tetapi karena kebijakan ketahan pangan kurang menaruh perhatian terhadap upaya peningkatan kesejahteraan petani, maka kita berpendapat kebijakan tersebut belum mencukupi. Sebab, meskipun dalam kebijakan ketahanan pangan nasional petani bukan merupakan pilar satu-satunya bagi ketahanan nasional, namun petani tetapi merupakan pilar terpenting. Singkatnya, kebijakan ketahanan pangan adalah perlu tetapi tidak mencukupi.

Hari Tani Nasional 2016 di Jakarta

Oleh karena itu sebagai penyempurnaan, untuk tidak mengatakan sebagai pengganti, kebijakan ketahanan pangan perlu dikembangkan dan diterapkan kebijakan kedaulatan pangan. Secara konseptual, kedaulatan pangan berarti hak setiap negara atau masyarakat untuk menentukan sendiri kebijakan pangannya, melindungi sistem produksi pertanian dan perdagangan untuk mencapai sistem pertanian yang berkelanjutan dan mandiri. Kedaulatan pangan mengatur produksi dan konsumsi pertanian yang berorientasi kepada kepentingan lokal dan nasional, bukan pasar global. Kedaulatan pangan mencakup hak untuk memproteksi dan mengatur kebijakan pertanian nasional dan melindungi pasar domestik dari dumping dan kelebihan produksi negara lain yang dijual sangat murah. Oleh karena itu, petani kecil dan buruh tani harus diberikan akses terhadap tanah, air, benih, dan sumber-sumber agraria lainnya.

Dengan demikian, kedaulatan pangan harus didahulukan di atas kepentingan pasar. Sungguhpun demikian, kebijakan kedaulatan pangan tidak melarang perdagangan, tetapi menekankan bahwa produksi pangan harus diprioritaskan  untuk mencukupi kebutuhan pangan sendiri dan keluarga, yang di produksi secara organik, berkelanjutan dan aman. Selain itu, kebijakan kedaulatan pangan juga menekankan input dan pemasaran hasil pertanian adalah melalui organisasi-organisasi tani atau koperasi tani sehingga tidak tergantung dari industri.

Secara lebih konkret, ada tujuh prinsip utama untuk menegakkan kedaulatan pangan, antara lain adalah: (1) pembaruan agraria, (2) adanya hak akses rakyat terhadap pangan, (3) penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan, (4) pangan untuk pangan dan tidak sekadar komoditas yang diperdagangkan, (5) pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi, (6) melarang penggunaan pangan sebagai senjata, (7) pemberian akses ke petani kecil untuk perumusan kebijakan pertanian.

aksi hari tani nasional 2016

Konsep dan kebijakan kedaulatan pangan seperti yang dipaparkan di atas tidaklah berdiri sendiri. Kedaulatan pangan harus didukung dan bertumpu pada kedaulatan petani. Tanpa adanya kedaulatan petani tidak akan terwujud kedaulatan pangan yang sejati. Kedaulatan petani hanya akan terwujud apabila ada pengakuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi petani. Menurut Deklarasi La Via Campesina Regional Asia Tenggara-Asia Timur tentang Pemenuhan dan Perlindungan Hak Asasi Petani, dalam garis besarnya hak-hak asasi petani meliputi: (1) hak atas kehidupan yang layak, (2) hak atas sumber-sumber agraria, (3) hak atas kebebasan budidaya dan tanaman, (4) hak atas modal dan sarana produksi pertanian, (5) hak atas akses informasi dan teknologi pertanian, (6) hak atas kebebasan menentukan harga dan pasar produksi pertanian, (7) hak atas perlindungan nilai-nilai budaya pertanian, (8) hak atas keanekaragaman hayati, dan (9) hak atas kelestarian lingkungan.

Pada tingkat yang lebih tinggi dan dalam skala yang lebih makro, kedaulatan pangan dan kedaulatan petani sangat dipengaruhi oleh kedaulatan negara. Dalam konteks kedaulatan pangan, tingkat dan kapasitas kedaulatan negara sangat bergantung kepada sejauh mana negara mampu membebaskan diri dari rezim Dana Moneter Internasional (IMF), rezim Bank Dunia, dan rezim Organisasi Perdagangan Dunia (WTO); ketiganya merupakan instrumen dari neokolonialisme-imperialisme. Jika negara tidak mampu melepaskan diri dari ketiga rezim IMF, Bank Dunia dan WTO, maka kedaulatan negara akan selalu terkebiri. Kondisi ini pada gilirannya akan mengakibatkan kedaulatan petani menjadi tereduksi dan kedaulatan pangan nasional menjadi mandul.

aksi-hari-tani-nasional-2016-di-tugu-tani

Dengan demikian, kedaulatan pangan, kedaulatan petani, dan kedaulatan negara merupakan suatu kesatuan organik. Ketiganya saling mempengaruhi dan saling mendukung. Tegasnya, kebijakan kedaulatan pangan nasional mensyaratkan perwujudan kedaulatan  petani dan kedaulatan negara. Oleh karena itu, gerakan kedaulatan pangan pada hakekatnya merupakan gerakan sosial yang mampu menyatukan seluruh elemen gerakan: petani, nelayan, masyarakat adat, buruh, perempuan, kaum miskin kota, dan lain-lain. Tentu saja peran pemerintah juga sangat penting dalam gerakan membangun kebijakan kedaulatan pangan yang berkeadilan tersebut.

 Langkah Realisasi

Oleh karena itu, pada 16 Oktober 2016, Hari Pangan Sedunia, Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) mendorong semua pihak untuk melakukan transformasi radikal terhadap sistem pangan yang adil dan layak bagi semua, berdasarkan prinsip-prinsip kedaulatan pangan, yang mengakui kebutuhan rakyat, bermartabat dan menghormati alam, serta menempatkan kepentingan masyarakat banyak di atas keuntungan segelintir kelompok.

Dalam membangun kebijakan kedaulatan pangan sebagai sebuah gerakan sosial tersebut, SPI merekomendasikan beberapa langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk membangun kebijakan pangan yang lebih berkeadilan terhadap nasib kaum tani. Langkah-langkah dimaksud adalah:

  1. Memprioritaskan produksi pangan untuk kebutuhan pangan keluarga dan lokal, bukan berorientasi ekspor.
  2. Reforma agraria sehingga petani berkesempatan memiliki luas lahan yang cukup untuk sejahtera.
  3. Pengakuan hak-hak petani atas komponen pertanian dan menjamin keberlangsungan dan ketersediaannya. Air untuk petani dipastikan cukup untuk keberlangsungan pertanian dan diatur oleh negara. Bibit untuk petani bersifat bebas sehingga sistem lumbung pangan dapat berjalan.
  4. Pengakuan pengetahuan lokal petani dan melindungi keberlangsungannya sebagai metode menuju kedaulatan pangan. Sebagai contoh, melestarikan sistem Subak di Bali yang mulai terkikis dengan adanya privatisasi sumber air atau alih-alih malah menggantikannya dengan sistem irigasi bendungan.
  5. Mendukung pertanian dengan kebijakan-kebijakan yang berorientasi tercapainya kedaulatan pangan, di mana petani sebagai pemeran utama. Salah satunya dengan menghapuskan Perlindungan Varietas Tanaman (PVT), mendukung percepatan menghasilkan bibit unggul menggunakan sumber daya dalam negeri, menghapuskan impor dan memastikan orientasi ekspor pangan hanya setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi.

 

 

*) Penulis adalah Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Yogyakarta

ARTIKEL TERKAIT
Reforma Agraria Bukan Sekedar Sertifikasi Tanah
Prof. Eriyatno: "Neoliberalisme adalah fondasi food estate"
Solidaritas SPI Untuk Korban Tsunami Banten
16 Tahun SPI, Tetap Berjuang Menegakkan Pembaruan Agraria De...
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU