Mewujudkan Kedaulatan Pangan

FAO (Food and Agriculture Organization-Badan Pangan Dunia) pada 2011 mencatat bahwa kelaparan penduduk dunia tahun 2010 mencapai sekitar 925 juta jiwa. Ini berarti satu dari enam penduduk dunia masih terjebak dalam kelaparan. Sementara di Indonesia, paling sedikit 23,63 juta penduduk Indonesia terancam kelaparan.

Konsep Ketahanan Pangan yang dirumuskan FAO pada Word Food Summit (WFS) bulan November 1996 di Roma telah gagal memenuhi kebutuhan pangan serta menghapuskan kelaparan di dunia hingga 2015. Menurut FAO pada tahun 1996 terdapat 800 juta dari 5,67 milyar penduduk dunia yang menderita kurang pangan, diantaranya 200 juta balita menderita kurang gizi terutama energi dan protein.  Laporan PBB juga mencatat bahwa 3 – 5 ribu orang mati setiap hari akibat kelaparan dan dampaknya.

Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002 sebagai bentuk turunannya di Indonesia dimana konsep ini tidak mengatur bagaimana pangan itu diproduksi dan dari mana pangan tersebut berasal, petani belum menjadi bagian dari konsep dan kebijakan ketahanan pangan nasional.

Rapuhnya Ketahanan Pangan Indonesia

Sektor pertanian tanaman pangan kita saat ini dihadapkan pada situasi yang bisa dikatakan dilematis, di satu sisi ketersediaan lahan yang cukup luas (sebagai negara agraris) selalu disebut sebut  mampu memenuhi kebutuhan pangan  masyarakat secara keseluruhan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS), selama bulan Januari-Juni 2011, impor pangan Indonesia mencapai 11,33 juta ton dengan nilai US$5,36 miliar atau kurang lebih Rp 45 triliun. Komoditas impor bervariasi, mulai dari beras, jagung,terigu,gula,garam,telur ayam,daging sapi, singkong, bawang merah, cabai, hingga ke buah-buahan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011 menunjukkan, impor beras Indonesia dari sejumlah negara mencapai 2,75 juta ton dengan nilai US$1,5 miliar. Vietnam menjadi negara eksportir terbesar bagi pasokan beras di Tanah Air dengan jumlah mencapai 1,78 juta ton. Sementara sumber Pelindo II Cabang Pelabuhan Tanjung Priok menyampaikan impor pangan selama Januari-Maret 2012 melalui Pelabuhan Tanjung Priok : Beras sebanyak 330.539 Ton, Jagung 33.700 Ton, Tapioka 7.422 Ton, Gandum 546.932 Ton,  Garam 25.400 Ton.

Impor pangan terus meningkat sejak Indonesia menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organizations/WTO) dan menerapkan liberalisasi ekonomi atau perdagangan bebas. Indonesia makin terbuka setelah Presiden Soeharto menandatangani Letter of Intent dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Structural Adjustment Program (SAP) dengan Bank Dunia pada 1997.

Sumatera Barat yang di kenal sebagai daerah surplus beras berbanding terbalik dengan kebutuhan beras Sumbar yang di datangkan dari luar. Terbukti Sumatera Barat tidak siap ketika terjadi bencana alam sehingga mendatangkan beras dari luar. Menyikapi naiknya harga beras akibat banjir bulan November 2011 yang lalu Bulog sumbar mendatangkan 12.200 ton beras dari luar, kebijakan ini pertanda ketahanan pangan Sumbar sangat rapuh ketika terjadi bencana, hal yang sama terjadi pada bencana gempa 2009.

Stok beras BULOG Sumbar  per-maret 2012 tersedia 23.250 ton, terdiri dari : Stok lama 8.000 ton, beras Thailand 6.250 ton, beras vietnam 11.000 ton, dari 23.250 ton yang termasuk pembelian dari petani hanya 300 ton (Sumber Bulog Sumbar, 20 Maret 2012).

Sementara arah pembangunan perkebunan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat yang menargetkan volume ekspor komoditi minyak kelapa sawit daerah dalam lima tahun ke depan (2011-2015) secara bertahap meningkat menjadi 1.010.645 ton setelah 795.450 ton di tahun 2009, ancaman untuk semakin merapuhkan kedaulatan pangan di Sumbar seperti yang terjadi di Kab. Pasaman Barat-Sumbar.

Pembaruan Agraria Sejati Prasyarat  Utama Membangun Kedaulatan Pangan

Kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memproduksi pangan mandiri, mengkonsumsi dan memasarkan hasil pertaniannya tanpa adanya intervensi pihak luar.

Terdapat tujuh prasyarat utama untuk menegakkan kedaulatan pangan, antara lain adalah: (1) Pembaruan Agraria; (2) Adanya hak akses rakyat terhadap pangan; (3) Penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan; (4) Pangan untuk pangan dan tidak sekadar komoditas yang diperdagangkan; (5) Pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi; (6) Melarang penggunaan pangan sebagai senjata; (7) Pemberian akses ke petani kecil untuk perumusan kebijakan pertanian.

Masalah utama agraria (tanah, air, dan kekayaan alam) di Indonesia adalah konsentrasi kepemilikan, penguasaan dan pengusahaan sumber-sumber agraria baik tanah, hutan, tambang dan perairan di tangan segelintir orang dan korporasi besar yang berujung pada sengketa agraria, Badan Pertanahan Nasional (2011) mencatat 2.791 kasus pertanahan pada tahun 2011.

Dilaksanakannya Pembaruan Agraria Sejati dimana sangat penting menata kembali struktur penguasaan agraria yang timpang, kemudian mendistribusikan tanah kepada petani khusus peruntukannya bagi pembangunan pertanian pangan sebagai prasyarat utama dalam pembangunan Kedaulatan Pangan yang berbasiskan rasa keadilan rakyat. Penguasaan tanah di tingkat rumah tangga petani yang rata- rata di Indonesia hanya 0,3 hektar sangat berpengaruh terhadap kurangnya produksi pangan dan tingkat kesejahteraan petani.

Penelitian pada beberapa daerah di Sumatera Barat menunjukan penyebab kemiskinan rakyat selain sulitnya mengakses modal dan kurangnya keterampilan, juga disebabkan oleh kurangannya penguasaan lahan untuk pertanian pangan. Kekurangan tanah dalam tataran ideal tidak mungkin terjadi dalam masyarakat Minangkabau karena menganut sistim kekeluargaan dengan kepemilikan tanah ulayat. Namun pola penguasaan tanah di Sumatera Barat berubah seiring waktu, pada beberapa kasus tanah menjadi komoditas yang diperebut oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap tanah di antaranya :

  1. Pemerintah (termasuk pemerintah nagari)
  2. Kapital / Korporasi
  3. Penguasa ulayat (oknum ninik mamak)
  4. Petani (anak-cucu dan kemenakan)

”Adat Di Isi, Limbago Di Tuang” dan ”Siliah Jariah”, istilah ”Adat Di Isi, Limbago Di Tuang” mengandung makna serangkaian usaha-usaha memenuhi ketentuan adat untuk memperoleh hak tertentu atas tanah,sedangkan ”Siliah Jariah” secara sederhana dapat diartikan sebagai pengganti jerih payah. Kedua istilah ini sangat populer dalam perolehan hak pengelolaan atas tanah, dan istilah ini pula yang memisahkan anak-cucu dan kemenakan di sentra-sentra perkebunan besar Sumatera Barat dengan tanah-tanah pertaniannya. Tanah ulayat diserahkan pengelolaannya oleh penguasa ulayat dengan intervensi pemerintah kepada pemilik modal tanpa tersisa lagi tanah pertanian yang memadai untuk anak-cucu dan kemenakan.

* Penulis adalah Ketua Badan Pelaksan Wilayah (BPW) Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Barat. Makalah disampaikan pada Diskusi Publik Ketahanan Pangan dengan tema : “Mewujudkan Kedaulatan Pangan Untuk Kesejahteraan dan kemandirian”,  Padang, Sumatera Barat, 27 Juni 2012

ARTIKEL TERKAIT
Kekeringan Jangan Dijadikan Alasan Impor Pangan
Lagi, Petani Dikriminalisasi di Aceh Tamiang Lagi, Petani Dikriminalisasi di Aceh Tamiang
Puasa, Pangan dan Kesejahteraan Petani
Metode SRI Terbukti Unggul dan Tahan Wereng
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU