JAKARTA. Nasib petani kopi tidak berbanding lurus dengan tren minum masyarakat Indonesia yang semakin tinggi. Ha ini disampaikan oleh Sasmitra, petani kopi anggota Serikat Petani Indonesia (SPI) dalam Konferensi Nasional Perkebunan Rakyat Indonesia (KNPRI), di Jakarta, 26-27 April 2017.
Sasmitra menerangkan, ada banyak permasalahan yang dihadapi oleh petani kopi, mulai dari permasalahan lahan yang tidak cukup (hak atas tanah tidak terjamin), lokasi geografis yang ekstrim, pengurusan tanaman yang semakin harus teliti, pengelolaan buah kopi yang sangat cermat untuk mempertahankan mutu–hingga penghargaan nilai jual yang tidak adil.
“Pembeli meminta agar produksi kopi terus naik dan mutu meningkat. Namun ketika petani ikut menaikkan kualitas walau mengalami masalah-masalah di atas, pembeli masih beralasan bahwa kebutuhan pasar tidak bisa membeli secara keseluruhan,” papar Sasmitra yang juga Ketua Badan Pelaksana Cabang (BPC) SPI Kabupaten Kepahiang, Bengkulu.
Sasmitra melanjutkan, akhirnya kopi kualitas bagus pun “hanya” mendapat harga yang tidak cukup–baik untuk penghidupan yang layak, juga pengembangan usaha tani.
“Pemerintah seharusnya juga bisa melindungi harga kopi petani mengingat kopi adalah salah komoditas andalan,” lanjutnya Sasmitra.
Sasmitra menambahkan, untunglah para petani kopi SPI Bengkulu tergabung dalam Koperasi Petani Indonesia (KPI, koperasinya SPI).
“KPI yang menjadi tulang punggung dan ujung tombak dari pendistribusian kopi-kopi hasil petani sehingga kami setidaknya bisa terbebas dari tengkulak,” tuturnya.
1.500 Hektar Gagal Panen
Hal senada disampaikan Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) Nusa Tenggara Timur (NTT) Martinus Sinani. Ia menyampaikan, kendala lain dari petani kopi adalah perubahan iklim yang ekstrim.
“Musim tanam ini petani kopi SPI di Manggarai, Flores, NTT gagal panen karena hujan angin yang tidak bisa diprediksi sebelumnya. Setidaknya ada 1.500 hektar lahan petani anggota SPI yang gagal panen. Akibatnya bunga kopi berguguran dan buah kopi juga menjadi tidak sehat,” kata Martinus.
Martinus menegaskan, seharusnya ketika gagal panen, setidaknya pemerintah memberikan dukungan ataupun kontribusi apa pun.
“Kami kecewa dengan pemerintahan kabupaten maupun pemerintahan provinsi yang sama sekali tidak mempedulikan petani yang gagal panen,” tutupnya.
KNPRI sendiri diprakarsai oleh Serikat Petani Indonesia (SPI), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Aliansi Petani Indonesia (API), Sawit Watch, Farmer Initiative for Ecological Livelihood and Democratie (FIELD), Bina Desa dan (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice) IHCS.
Saya dari kota baturaja
Dan saya Petani kopi di pedalaman
Menurut saya
Pemerintah harus adil Memikirkan petani kopi
Harus Cermat dan Perhatian
Karena KOPI itu murah Tapi enggak murahan
Perlu keringat Bahkan Air mata Petani untuk menghasilkan Senyuman Pejabat Saat menikmati Seduhan Kopi Tersebut. . . .