YOGYAKARTA. Negara harus memberikan perhatian lebih atas nasib petani (kecil). Hal ini diungkapkan oleh Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih dalam seminar internasional peringatan Konferensi Asia Afrika ke-58 bertema “Demokrasi Ekonomi di Asia, Peluang dan Tantangan”, di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta(25/04).
Henry memaparkan, penjaga kedaulatan pangan nasional adalah para petani kecil yang (masih) menerapkan pertanian kecil berbasiskan keluarga, bukan pertanian skala luas yang dijalankan oleh perusahaan transnasional yang hanya mencari keuntungan.
Henry yang juga Koordinator Umum La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) ini selanjutnya mengungkapkan bahwa saat ini luas lahan pertanian di banyak negara terus mengalami penyusutan seperti di Thailand, India, Korea Selatan, Jepang, dan Indonesia sendiri. Akibatnya banyak negara yang kini bergantung kepada pasar bebas, untuk penuhi komoditas pangan dalam negerinya. Jepang, misalnya hanya mampu produksi pangan untuk satu kali makan, dua kali jatah makan harus dipenuhi dari impor pangan luar.
“Krisis pangan yang sempat terjadi beberapa tahun lalu sesungguhnya bukan karena jumlah pangan itu kurang, tapi pangan dikuasai oleh sekelompok pengusaha yang memonopoli pangan agar mendulang keuntungan dari kelangkaan pangan itu sendiri. Oleh karena itu solusinya adalah mengembalikan pengelolaan pertanian kepada para petani kecil kita,” tegasnya.
Sementara itu menurut Revrisond Baswir selaku Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada, Indonesia ke depan butuh demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi tersebut hingga kini masih butuh perjuangan bersama untuk diwujudkan. Karena itu, negara harus hadir untuk memperkuat koperasi, membuat sehat Badan Usaha Milik Negara agar bisa memberikan kemakmuran rakyat.
“Neokolonialisme dan neoimperialisme masih kuat dan menjadi penghambat pelaksanaan demokrasi ekonomi. Perlu kita agendakan Gerak Lawan, gerakan rakyat lawan neo liberalisme dan imperialisme,” ungkap Ekonom Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) ini.
Pablo Solon, Direktur Focus on Global South Thailand, menambahkan dengan kondisi krisis ekonomi dunia, Indonesia tetap menjadi incaran bagi pasar. Dunia saat ini butuh sistem ekonomi yang memberikan kesejahteraan, berkeadilan.
“Apa yang terjadi di Yunani, krisis di sana karena adanya pola spekulatif market, sistem pasar yang spekulatif, itu yang seharusnya ditinggalkan, kita butuh demokrasi ekonomi,” kata Mantan Duta Besar Bolivia untuk PBB ini.
Dr. Hempri Suyatna, dosen Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada mengingatkan, sektor UMKM sudah waktunya benar-benar didorong jika ingin membentuk negara kesejahteraan. Para politisi yang akan maju di tahun 2014, dan yang terpilih nantinya harus benar-benar memiliki keberpihakan kepada ekonomi kerakyatan.
“Menjelang 2014, banyak politisi akan memanfaatkan tahun politik guna mengumpulkan suara. Rakyat harus mampu memilih politisi mana yang benar-benar memperjuangkan agenda demokrasi ekonomi bagi usaha kecil dan menengah. Kebijakan ekonomi jangan lagi untuk kepentingan elit, kekuasaan dan pemilik modal. Sudah waktunya mengakhiri keberpihakan kepada kapitalis,” paparnya. (sumber)
Kedaulatan Pangan jalan pintas keluar dari jerat Nekolim ! salam juang Merah Putih .