Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati berdasarkan UUPA 1960 untuk keadilan sosial bagi kaum tani dan Rakyat Indonesia
Hari Tani Nasional yang setiap tahunnya diperingati pada tanggal 24 September, merupakan tonggak bersejarah bagi kaum tani Indonesia. Pada tanggal tersebut pada tahun 1960, ditetapkanlah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960 sebagai landasan hukum dan politik bagi diaturnya hubungan yang antara kaum tani dengan alat produksinya. Yang kemudian oleh pemerintah Presiden Soekarno hari kelahiran UUPA 1960 dinyatakan sebagai Hari Tani Nasional. Politik agraria UUPA 1960 berakar pada kesadaran atas realitas sosio-politik dan sosio-ekonomi rakyat yang terbelenggu dalam ketidakadilan struktural warisan kolonialisme/feodalisme berabad-abad lamanya. Oleh karena itu, jiwa dan semangat UUPA 1960 sangat tegas ingin menjebol ketidakadilan struktural itu dalam rangka menyiapkan prakondisi sosial untuk membangun kehidupan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
Namun, puluhan sejak tahun 1960 bahkan sejak masa kolonial, nasib kaum tani Indonesia tidak banyak berubah, masih miskin dan terus dipinggirkan. Berbagai persoalan dihadapi oleh kaum tani dan rakyat Indonesia, baik yang bersifat daerah, nasional maupun Internasional. Kini, di bawah dominasi pelaksanaan kebijakan neoliberal, kian memperparah keadaan yang telah ada. Lihat kebijakan liberalisasi, marketisasi, privatisasi, rekapitalisasi, otonomi daerah, dan lain-lain- pada hakikatnya hanya bermuatan kepentingan neoliberalisme. Semua itu tidak mengubah tradisi lama yang membiarkan rakyat tani menghadapi sendiri berbagai bencana, baik bencana alam seperti kekeringan, banjir, maupun bencana yang diakibatkan oleh kebijakan neoliberal. Pemerintah Indonesia dibawah hegemoni lembaga keuangan Internasional seperti (IMF, ADB dan Bank Dunia), organisasi perdagangan dunia (WTO) dan perusahaan-perusahaan raksasa dunia dan kekuatan-kekuatan ekonomi lainnya yang dikuasai negara-negara G8 dipaksa untuk menjalankan prinsip-prinsip neoliberalisme, yang merupakan perwujudan dari penjajahan model baru. Situasi ini mengakibatkan, menambah barisan peraturan yang bertentangan dengan semangat yang tertuang dalam konstitusi Indonesia dimana peran pemerintah yang seharusnya melindungi dan memenuhi hak asasi manusia, dan menjaga kekayaan alam Indonesia tapi justru menjadi berpihak kepada modal.
Disahkannya berbagai peraturan oleh pemerintah bersama DPR, sebagian besarnya selalu berpihak kepada pemodal. Sebut saja beberapa diantaranya yaitu, Undang-undang No. 7/2004 tentang sumber daya air yang mengakibatkan privatisasi sumber air, Undang-Undang No. 18/2004 tentang perkebunan yang mengakibatkan ratusan petani dikriminalkan, Perpres 36/2005 dan revisinya Perpres 65/2006 tentang pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum yang menyebabkan konversi lahan pertanian ke non pertanian semakin masif dan penggusuran, dan Undang-Undang No. 25/2007 tentang penanaman modal, yang membenarkan pemodal menguasai secara dominan disektor pertanian pangan. Serta terakhir pada tanggal 16 September 2009, telah disahkan UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang berpotensi menghambat pelaksanaan reforma agraria dan kriminalisasi terhadap petani gurem.
Belum lagi kebijakan dibidang pertanian yang serba mau gampang saja. Impor berbagai pangan seperti kedelai, jagung, bahkan ayam, susu dan daging sapi hingga saat ini jumlah mencapai jutaan ton. Demikian juga Impor input pertanian seperti benih padi hibrida. Bagi Serikat Petani Indonesia (SPI) kesemua itu adalah penyebab makin langgengnya kemiskinan terutama dipedesaan, konflik agraria dan ketimpangan penguasaan sumber-sumber agraria di Indonesia.
Sekarang ini, mayoritas petani padi dalam kondisi amat miskin dengan pendapatan hanya Rp 1,527 juta/kapita/tahun (Rp 4.365/hari). Yang mengakibatkan sumbangan usahatani padi dalam struktur pendapatan rumah tangga merosot: dari 36,2% pada 1980-an tinggal 13,6% (Patanas, 2000), pemerintah dengan kebijakan HPP-nya tidak berdaya untuk mensejahterakan petani (kenaikan HPP di bawah inflasi).
Rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar, baik milik sendiri maupun menyewa, meningkat dari 10,8 juta keluarga tahun 1993 menjadi 13,7 juta keluarga tahun 2003 dan diperkirakan menjadi 15,6 juta di tahun 2008 (2,6 % per tahun). Persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan juga meningkat dari 52,7 persen (1993) menjadi 56,5 persen (2003). Kenaikan ini menunjukkan makin miskinnya petani. Pada tahun 1996/1997, jumlah orang miskin, paralel dengan angka petani gurem, sudah mencapai 17 juta jiwa. Namun, tahun 2006/2007 naik jadi 39 juta jiwa.
Oleh karena itu Semestinya tanggal 24 September 2009 ini seluruh bangsa Indonesia menundukkan kepala merenungkan dan memikirkan masa depan kehidupan jutaan rakyat tani yang ada di seluruh pelosok Tanah Air.
Apalagi pada 24 September 2003 bertepatan dengan bulan Syawal 1430 H, suatu suasana kemenangan baik umat Islam, setelah dibulan Ramadhan melaksanakan ibadah puasa. Semangat Idul Fitri, semangat kembali ke fitrah seharusnya menjadi semangat bagi pemerintah untuk membangkitkan dan memperjuangkan kaum papa, kaum miskin rakyat Indonesia, yang mayoritas dari mereka adalah petani yang tinggal dipedesaan.
Setelah melihat realitas penderitaan kehidupan rakyat tani sepanjang sejarah bangsa, maka merupakan kewajiban kita semua untuk mentransformasikan kehidupan dan sistem sosial menuju penghidupan lebih baik dan lebih mulia. Untuk itu, melaksanakan pembaruan agraria sejati berdasar UUPA merupakan jalan keluar paling tepat guna membebaskan rakyat tani dari belenggu ketidakadilan struktural warisan feodalisme, kolonialisme, dan imperialisme.
Selamat Hari Tani Nasional ke 49, Hidup Petani !!
Jakarta, 24 September 2009
Dewan Pelaksana Pusat (DPP)
Serikat Petani Indonesia (SPI)
Henry Saragih
Ketua Umum