JAKARTA. Nilai Tukar Petani (NTP) pada Agustus 2016 tercatat hanya bergeser dari angka 101,39 pada bulan Juli menjadi 101,56. Pergeseran tipis ini tidak berarti karena NTP di Subsektor Pangan dan Hortikultura sebagai produk pertanian utama kembali mengalami penurunan sedangkan NTP Subsektor Perkebunan Rakyat praktis tidak bergerak.
Berdasarkan laporan yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal September 2016, NTP Tanaman Pangan kembali mengalami penurunan yakni sebesar 0,09 dari angka 98,21 di bulan Juli menjadi 98,12 pada Agustus. Indeks Harga yang diterima (it) petani pangan yang pada Juli 2016 sebesar 124,57 menjadi 124,59 di Agustus. Pergeseran tipis Indeks terima ini diikuti oleh kenaikan Indeks Harga yang dibayar (ib) petani sebesar 126,85 di Juli menjadi 126,98 pada Agustus. Penurunan NTP Subsektor Pangan ini merupakan kelanjutan tren penurunan yang selama setahun belakangan telah berlangsung.
Data menunjukkan, pergeseran tipis Indeks NTP gabungan nasional pada sektor pertanian dipengaruhi oleh kenaikan NTP Perkebunan Rakyat yang pada bulan Juli berada pada titik yakni 97,84 menjadi 98,01 pada bulan Agustus. Komposisi ini dibentuk dari Indeks Harga yang diterima petani (it) sebesar 121,94 pada bulan Juli bergeser menjadi 122,17 di bulan Agustus, sedangkan Indeks Harga yang harus di bayar petani (ib) mengalami kenaikan dari bulan Juli sebesar 124,51 menjadi 124,65.
“Harga cengkeh justru turun. Cengkeh kering dari Rp 95.000 per kg turun jadi Rp 75.000 per kg bulan Agustus lalu,” kata Martinus Sinani, petani anggota Serikat Petani Indonesia (SPI) di Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Harga TBS (tandan buah sawit) memang sedikit naik bulan lalu, tapi terkandung kadar airnya juga. Selain itu, harga kebutuhan sehari-hari masih naik,” timpal Zubaidah, petani SPI asal Asahan, Sumatera Utara.
Menanggapi hal ini, Ketua umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyampaikan, masifnya kebijakan Impor pangan yang dilakukan pemerintah masih menjadi penyebab dari lemahnya posisi ekonomi petani.
“Kita terus mendatangkan gandum, sapi, dan kedelai. Bahkan terakhir bibit bawang masuk dalam jumlah besar,” kata Henry di Jakarta, pagi ini (06/09).
Henry menilai, tren operasi pasar murah yang selama ini dilakukan pemerintah bukanlah jawaban dari permasalahan sektor pangan yang selama ini terjadi.
“Ini (Operasi pasar murah) justru menjadi dalil pemerintah untuk terus melakukan Impor pangan, bukannya dengan memperkuat Bulog sebagai Institusi yang mengelola urusan pangan,” lanjutnya.
Henry melanjutkan, masih panjangnya rantai perdagangan pangan yang dikuasai kelompok pedagang besar merupakan permasalahan yang tak kunjung dapat diselesaikan oleh Pemerintah.
“Kelembagaan ekonomi petani rakyat melalui sistem koperasi tidak dikembangkan, malah pemerintah terus terpaku pada Poktan dan Gapoktan yang sudah tidak layak dan terbukti tidak efektif mewujudkan kesejahteraan petani,” tegasnya.
Henry menambahkan, instrumen kebijakan di sektor pertanian dan pangan sama sekali belum menempatkan petani pada posisi yang benar – benar signifikan. Padahal di sisi lain kebutuhan petani terus meningkat.
“Data telah jelas menunjukkan, NTP sudah terus menurun setahun terakhir. Ini menjelaskan bahwa kebijakan di sektor Pertanian telah gagal dan menjerumuskan petani pada kondisi yang kian memburuk,” tambahnya.
“Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Nomor 19 tahun 2013 seharusnya dapat menjadi dasar dari berkembangnya posisi petani dalam horizon pangan domestik. Pada kenyataannya Nawacita dan Trisakti yang diusung Pemerintah tinggallah sekedar Jargon belaka. Ini akibat kegagalan pemimpin dalam menafsirkan amanat Konstitusi khususnya pasal 33 UUD 45,” tutup Henry.
Kontak selanjutnya:
Henry Saragih, Ketua Umum SPI, 0811 655 668
Zubaidah, Ketua SPI Sumatera Utara, 0813 6281 2043
Martinus Sinani, Ketua SPI Nusa Tenggara Timur, 0813 3958 7595