JAKARTA. Nilai Tukar Petani (NTP) pada April 2016 mengalami penurunan 0,10 persen dari 101,32 pada bulan Maret menjadi menjadi 101,22. Hal ini dikarenakan indeks harga yang diterima petani turun sebesar 0,51 persen. Penerunan NTP terus terjadi sejak bulan November 2015 hingga April 2016.
Berdasarkan laporan yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tanggal 2 Mei 2016, NTP tanaman pangan mengalami penurunan yang drastis yakni sebesar 2 persen dari 100,69 di bulan Maret menjadi 98,68 pada bulan April. Sebagian besar penurunan dialami oleh kelompok petani padi dan jagung. Pada posisi ini NTP tanaman pangan lebih parah dibanding Agustus 2015.
Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, NTP tanaman pangan turun karena panen raya sedang berlangsung, kemudian datang hujan, petani cepat-cepat menjual padinya karena banyak petani kini tidak memiliki gudang untuk menyimpan hasil panen.
“Akibatnya harga gabah dan beras petani di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang ditetapkan. Padahal jika koperasi ada, petani dapat menyimpan hasil panen di gudang dan pengering yang dimiliki koperasi,” kata Henry di Jakarta pagi ini (04/05).
Henry melanjutkan, penurunan NTP tanaman pangan harusnya tidak terjadi jika bisa dikendalikan oleh pemerintah.
“Disinilah pentingnya peran Bulog yang harus bekerjasama dengan koperasi-koperasi petani. Untuk itu Pemerintah harus segera mengeluarkan platform kebijakan pangan yang mengatur kerjasama Bulog dengan koperasi-koperasi petani,” tegasnya.
“Kejadian ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun, akibatnya petani banyak yang meninggalkan tanaman pangan ke tanaman hortikultura dan perkebunan,” sambungnya.
Sementara itu, NTP hortikultura dan NTP perkebunan rakyat tengah mengalami kenaikan. NTP hortikultura naik sebesar 0,54 persen menjadi 103,09. Walaupun demikian tidak menutup kemungkinan kembali turun jika harga hortikultura tak dikontrol oleh pemerintah—seperti kejadian harga tomat murah beberapa waktu yang lalu.
Di tengah tren negatif sejak tahun lalu, NTP Perkebunan Rakyat pada April 2016 mengalami kenaikan menjadi 97,87. Namun kenaikan itu tidak begitu menggembirakan bagi petani, karena NTP Perkebunan Rakyat masih berada dibawah 100—dimana indeks yang diterima petani sama dengan indeks yang dibeli petani. Dengan kata lain petani perkebunan rakyat masih mengalami kerugian.
“Karena itu SPI berpendapat, pemerintah harus memiliki kebijakan harga, produksi dan kelembagaan. Sehingga harga dan produksi dapat ditentukan misalnya batas minimum-maksimum, agar harga terjamin dan over supply tak lagi terjadi,” tutur Henry.
Henry menambahkan, terkait kebijakan kelembagaan, pemerintah didesak kembali menggunakan koperasi-koperasi petani sebagai elemen yang memiliki andil besar dalam mewujudkan kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani.
“Ketiganya (harga, produksi dan kelembagaan) digulirkan dalam satu kerangka kebijakan, karena jika salah satu saja tidak terpenuhi maka perubahan belum tercapai”, tambahnya.
Kontak selanjutnya:
Henry Saragih, Ketua Umum SPI, 0811 655 668