Target Pengentasan Kemiskinan Pemerintah 2015 Meleset, Akar Masalah Di Pertanian, Pedesaan

JAKARTA. Capaian pemerintahan Jokowi – JK untuk target pengentasan kemiskinan tahun 2015 meleset. Target pengurangan kemiskinan tersebut seharusnya sebesar 9,5 hingga 10,5 persen, atau jika dikonversi ke jumlah penduduk sekitar 900 ribu hingga 3,46 juta jiwa. Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyampaikan bahwa tahun 2015 pemerintah hanya mampu menurunkan angka kemiskinan sebesar 80 ribu atau 0.09 persen.

Hal tersebut didasarkan atas Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) per 4 Januari 2016, yang menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia pada bulan September 2015 mencapai 28,51 juta orang (11,13 persen).

Namun bila dibandingkan dengan bulan September 2014, sejatinya angka kemiskinan pada bulan September 2015 ini mengalami kenaikan. Jumlah penduduk miskin di desa dan di kota selama setahun terakhir ini sama-sama mengalami peningkatan. Di kota bertambah 260 ribu, dan di desa bertambah lebih banyak: 520 ribu jiwa.

GRAFIK 1. PERKEMBANGAN JUMLAH PENDUDUK MISKIN DESA DAN KOTA (JUTA JIWA) SEPTEMBER 2014 – SEPTEMBER 2015

grafik perkembangan angka kemiskinan 2014-2015
Sumber: Laporan BPS, diolah SPI

SPI juga mencatat bahwa peningkatan angka kemiskinan dalam kurun waktu September 2014 dan September 2015 ini banyak disebabkan oleh faktor harga pangan, di antaranya beras, rokok, telur ayam ras, daging ayam ras, mie instan, gula pasir, tempe dan tahu.

Sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan terkhusus di perdesaan pada September 2015 tercatat sebesar 73,07 persen, sedangkan lainnya adalah faktor bukan makanan, terkhusus perumahan, bahan bakar, listrik, dan pendidikan.

“Krisis harga beras di awal tahun 2015 juga berkontribusi tinggi dalam peningkatan jumlah penduduk miskin–terutama di pedesaan, karena selain menjadi produsen, petani juga menjadi konsumen pangan,” jelas Henry Saragih, Ketua Umum SPI.

Henry melanjutkan bahwa kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) juga mendorong kenaikan harga pangan maupun non pangan lainnya. “Dengan kenaikan biaya kebutuhan tersebut, hasil penjualan panen petani kurang mampu meningkatkan daya beli dan lebih jauh kesejahteraan mereka,”

“Kita bisa lihat perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP) selama tahun 2015 yang tidak pernah lebih dari 103. Bahkan NTP tanaman pangan dan petani perkebunan mengalami penurunan di akhir tahun, yang artinya daya beli petani sangat lemah,” ujar dia.

GRAFIK 2. PERKEMBANGAN NTP 2015 (TANAMAN PANGAN, HORTIKULTURA, DAN PERKEBUNAN RAKYAT)

perkembangan nilai tukar petani ntp 2015

Sumber: Laporan BPS, diolah SPI

Daerah pedesaan yang merupakan sentra pertanian justru terus menjadi kantong kemiskinan.

Di sisi lain, ternyata jumlah tenaga kerja sektor pertanian masih lebih banyak dibandingkan dengan tenaga kerja di sektor perdagangan, industri, jasa dan sektor-sektor lainnya.

“Dari total 114,8 juta orang penduduk yang bekerja pada Agustus 2015, sebanyak 37,75 juta (sekitar 32 persen dari total penduduk yang bekerja) menyandarkan lapangan pekerjaan utama di sektor pertanian,” papar Henry.

Karena itu, Henry Saragih menggarisbawahi bahwa akar masalah dari kemiskinan dalam konteks Indonesia adalah sektor pertanian, dan pedesaan.

“Ini lingkaran setan. Petani tak hidup layak, lalu produksi dan kedaulatan pangan terancam, terus inflasi, dan tingkat kemiskinan naik. Petani lagi jadi korbannya.”

SPI menyatakan setidaknya ada dua pekerjaan besar yang harus dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan kemiskinan terkhusus di perdesaan.

Pertama, bahwa tingginya angka tenaga kerja sektor pertanian, namun dalam kondisi miskin disebabkan oleh produksi pertanian yang hasilnya tidak cukup untuk pendapatan yang layak.

Salah satu resep jitu memutus lingkaran setan ini adalah program Nawa Cita untuk reforma agraria, yakni meredistribusi tanah sebesar 9 juta hektar. Petani tentu menjadi porsi terbesar.

“Memang ada solusi cepat seperti program raskin, kartu kesehatan, kartu pendidikan untuk keluarga tani–namun jika solusi menengah-panjang tak dilakukan, keadaan kemiskinan pedesaan akan tak kunjung membaik,” terang Henry lagi.

Namun sayangnya, rencana redistribusi 9 juta hektar lahan pun masih belum jelas implementasinya di tahun 2016. Henry menjelaskan, “Ini sudah sangat mendesak. Fakta tentang kemiskinan pedesaan 2015 harus jadi cambuk untuk pemerintah Jokowi-JK.”

Kedua, bahwa kecukupan produksi di sisi hulu belum menjamin kecukupannya di tangan konsumen. Oleh karena itu, sisi hilir harus menjadi perhatian utama pemerintah.

“Rantai dagang yang panjang, mafia pangan, kurangnya infrastruktur, serapan pasar lokal yang menguntungkan, adalah pekerjaan rumah kita yang menunggu cepat selesai,” Henry meneruskan. Sektor hilir juga perlu memberikan insentif, rangsangan kepada petani yang berproduksi. Bukan malah membuat kondisi makin keruh. “Perjanjian perdagangan bebas, seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) contohnya: dalam waktu dekat akan membahayakan pasar lokal dan mengancam produk-produk pertanian kita,”

Henry menambahkan, “Pemerintah harus cerdas. Harus bisa melindungi petani dan ciptakan iklim yang bisa membuat sektor pertanian dan pembangunan pedesaan kita tumbuh.”

“Jika aman berproduksi dan ada insentif, sinyal positif dari konsumen lokal, akan makin banyak yang bertani. Daya beli akan meningkat. Roda ekonomi pedesaan pun berputar,” kata Henry.

“Kita harus selesaikan masalah kemiskinan ini pada akarnya: ya untuk majukan pertanian dan pembangunan pedesaan. Rakyat tani menanti segera,” tutup Henry.

Kontak selanjutnya:
Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), 0811 655 668

ARTIKEL TERKAIT
SPI Bireuen Perkenalkan Pertanian Berkelanjutan ke Siswa SMA
Catatan Kritis: Impor Daging Sapi Untuk Siapa?
Ketum SPI : “Terus Semangat Berjuang, Jangan Pernah Putus ...
Aksi SPI Jambi menuntut pengembalian lahan eks-transmigrasi
1 KOMENTAR
  1. ozym berkata:

    Sebenarnya petani itu tidak menuntut segalanya harus diperhatikan oleh pemerintah. Kita hanya butuh perhatian pada saat panen dimana harga hasil panen kami selalu dimainkan terutama di daerah pelosok seperti tempat saya. Saat panen tiba harga selalu rendah terutama untuk harga jagung, entah karena permainan para pedagang atau karena memang pemerintah yang tidak bisa mengatur kami juga tidak tahu, yang jelas harga tidak sesuai dengan jerih payah kami kerja selama hampir 6 bulan di ladang. Kalau terus-terusan begini gimana kemiskinan bisa diatasi. pantas saja kalau targetnya meleset jauh seperti itu.

BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU