NTP Desember 2014: Tanaman Perkebunan Rakyat Makin Terpuruk, Tanaman Pangan Ada Perbaikan

JAKARTA. Petani perkebunan rakyat semakin terpuruk. Laporan terbaru Badan Pusat Statistik Nasional (BPS) yang dirilis pada 2 Januari 2015 lalu menyebutkan, Nilai Tukar Petani (NTP) perkebunan rakyat Desember 2014 berada di posisi terendah selama setahun terakhir yakni di angka 98,03. Nilai tersebut berada di bawah batas kesejahteraan petani yakni 100.

Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, indeks yang harus dibayar untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga meningkat 2,66% dan untuk biaya produksi dan penambahan modal meningkat 1,88%.

Penuturan Henry senada Ahmad Fitriadi, petani karet perkebunan SPI asal Desa Rengas, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Menurut Ahmad Fitriadi, petani karet di desanya semakin kesulitan sejak kenaikan harga bensin menjadi Rp 8.500 per liter, sementara harga karet per kilogramnya tetap stagnan di angka Rp 7.000-an.

“Kami petani karet sangat kesulitan kalau harga satu kilogram karet mentah lebih murah daripada harga satu liter bensin, minggu ini saja harga satu kilogram karet Rp 7.313. Walau awal Januari ini bensin sudah turun jadi Rp 7.600  tapi di desa kami masih dijual Rp 10.000 per liternya, memang ada yang jual Rp 9.000 per liter tapi letaknya cukup jauh dari desa kami. Itu masih bensin, belum lagi biaya kehidupan kami sehari-hari,” papar Ahmad Fitriadi yang juga Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Sumatera Selatan.

NTP_desember_2014

NTP Hortikultura

Sementara itu, meski tak setragis petani perkebunan rakyat, NTP tanaman hortikultura juga mengalami penurunan dari 103,81 ke 102,48.Penurunan NTP akhir tahun tersebut justru terjadi ketika harga beberapa sayuran naik, contohnya cabe merah dan cabe rawit. Namun kenaikan harga-harga sayuran tersebut tidak sebanding dengan kenaikan harga kebutuhan pokok. BPS menyatakan indeks yang diterima oleh petani hortikultura sebesar 1,19%, sementara indeks yang harus dibayar oleh petani sebesar 2,5% dan hal tersebut dipengaruhi oleh faktor kenaikan harga kebutuhan konsumsi rumah tangga. Petani hortikultura harus menerima kenyataan adanya kenaikan biaya produksi dan penambahan modal sebesar 1,98%. Sementara inflasi pedesaan sebesar 2,72 yang inflasi terutama disebabkan oleh kenaikan harga bahan makanan, komunikasi dan transportasi.

“Inilah resiko petani sebagai produsen, sekaligus konsumen. Usaha tani mereka masih rentan dengan dampak inflasi pedesaan yang membuat daya beli mereka menurun di saat hasil penjualan pertanian mereka meningkat. Dana pengalihan BBM ke sektor pertanian bisa berpeluang tidak memberikan efek positif yangsignifikan bila  tidak ada jaminan harga yang tinggi dari pemerintah terhadap hasil pertanian hortikultura petani,” tutur Henry Saragih di Jakarta siang ini (05/01).

NTP Pangan

Berbeda dengan NTP perkebunan rakyat dan hortikultura, NTP tanaman pangan di Desember 2014 naik dari 98,79 ke 101.Harga gabah kering panen dan gabah kering giling di petani pada bulan ini meningkat dibandingkan bulan sebelumnya, yakni Rp 4.910,51 per kilogram (naik 8,28%) dan Rp 5.264,16 per kilogram (naik 8,32 persen).  Kenaikan NTP ini juga menunjukkan  kemampuan petani dalam menanggung kenaikan baik biaya hidup untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga (KRT) maupun biaya produksi dan penambahan modal (BPPM) untuk kelanjutan usaha tani petani tanaman pangan, diantaranya bibit, pupuk, obat-obatan, sewa lahan dan upah buruh tani. Khusus untuk buruh tani, upah buruh mengalami kenaikan dari Rp 45.026,00 menjadi Rp 45.491,00, namun secara riil turun  sebesar 1,63 persen dibanding November 2014, yaitu dari Rp38.466,00 menjadi Rp37.839,00. Penurunan ini disebabkan oleh Inflasi pedesaan sebesar 2,72%, sementara pada bulan sebelumnya inflasi pedesaan sebesar 1,49%.

ntp_desember_2014

“NTP pangan Desember 2014 ini menjadi NTP tertinggi selama 2014 yang nilainya berada di atas 100 sebagai batas terendah indeks kesejahteraan petani tanaman pangan. Semoga titik kenaikan tersebut menjadi keberhasilan awal program kedaulatan pangan Jokowi-JK dengan mengalihkan dana subsidi BBM sebesar 15 Milyar untuk pertanian dan meningkatkan kesejahteraan buruh tani dan petani; bukan semata-mata untuk mengejar target produksi pangan dengan menomorduakan kesejahteraan petani dengan cara kembali mengintensifkan produksi pertanian a la revolusi hijau,” tegas Henry.

Henry melanjutkan, FAO (Organisasi Pangan Dunia) telah menetapkan tahun 2015 sebagai tahun tanah untuk memproduksi pangan tanpa merusak kesuburan tanah.

“Tentu momentum tahunan ini sangat pas dengan program desa agroekologi, go organic, dan program distribusi lahan 9,6 juta hektare bagi petani yang dijanjikan Jokowi-JK,” katanya.

 

Kontak selanjutnya:


Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668

Ahmad Fitriadi – Ketua SPI Sumatera Selatan – 0812 1842 7674

ARTIKEL TERKAIT
Tinjauan Gerakan Rakyat terhadap Rencana Kerja Bali Tinjauan Gerakan Rakyat terhadap Rencana Kerja Bali
Menyikapi pertemuan tingkat menteri Kelompok Cairns ke-33 di Bali Menyikapi pertemuan tingkat menteri Kelompok Cairns ke-33 di...
Menuju 20 Tahun La Via Campesina, 1993-2013
SPI berpartisipasi dalam World Social Forum 2011 di Dakar, S...
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU