JAKARTA. Ambisi pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla untuk membangun sarana infrastruktur ternyata berbuah pahit bagi para petani SPI di Kendal, Jawa Tengah. Pasalnya para petani dan warga sejumlah 140 KK yang berasal dari sembilan desa — Desa Ngawensari, Desa Galih, Desa Sumbersari, Desa Rejosari, Desa Tunggulsari, Desa Kertomulyo, Desa Penjalin, Desa Magelung dan Desa Nolokerto – merasa lahan dan rumahnya dirampas oleh proyek pembangunan tol Kabupaten Batang – Kota Semarang.
Menanggapi hal ini, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) menegaskan, perampasan lahan berkedok pembangunan infrastruktur ini adalah salah satu akibat dari penerapan Undang-Undang No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Henry menilai UU melegalkan perampasan tanah oleh perusahaan-perusahan swasta dan negara dimana di dalamnya dengan jelas memprioritaskan kepentingan pemilik modal ketimbang kepentingan rakyat.
“UU ini memaksa rakyat untuk setuju pada harga yang ditawarkan pemilik modal. Posisi rakyat pemilik tanah pun dilemahkan dalam masalah ganti rugi. Tak ada aturan dalam UU tersebut yang mengatur masalah harga ganti rugi lewat mufakat. Ganti rugi akan menggunakan penafsiran pemerintah dan patokan harga tidak dapat dikompromikan. Jika terjadi sengketa, maka akan langsung dibawa ke pengadilan,’’ papar Henry di Jakarta pagi ini (22/04)
Henry melanjutkan, UU ini juga sangat berpotensi menjadi instrumen yang mendukung pelanggaran hak asasi manusia. Perampasan tanah, penggusuran dan eksploitasi kekayaan alam yang menghancurkan lingkungan akan semakin tinggi.
“Dari kecenderungan ini, potensi konflik agraria dan pelanggaran hak asasi petani sangatlah besar. Dan ini sudah terbukti dari pembangunan proyek Tol Batang – Semarang ini,” tegas Henry.
Hal senada disampaikan Ketua Dewan Pengurus Cabang (DPC) SPI Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Nurochim. Ia memaparkan, konflik berlatar proses pengadaan tanah untuk jalan tol Batang-Semarang yang dilakukan oleh petugas Satuan Kerja (Satker) Kendal melalui sosialisasi. Beberapa hari kemudian dilakukan pengukuran tanah dan bangunan milik warga yang terkena pembangunan jalan tol tersebut. Setelah pengukuran, Satker menetapkan data nominatif rumah dan lahan warga yang akan terkena pembangunan jalan tol di balai desa. Namun ukuran luasnya tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
“Luas tanah yang harus diganti versi warga adalah seluas 73586,79 m2 ada pun versi Satker BPN Kendal hanya 69.201 m2. Alhasil warga dan petani mengajukan protes dan keberatan, mulai dari Kepala Desa, hingga Satker yang dipimpin oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kendal, tapi tidak ditanggapi,” tutur Nurochim.
Nurochim melanjutkan, setelah surat kurang mendapat tanggapan, DPP SPI dan DPC SPI Kendal melakukan audiensi ke beberapa instansi terkait di Jakarta. Sebanyak 20 orang warga terdampak jalan tol Kendal juga turut menghadiri audiensi dengan Ombudsman RI, Direktorat Jenderal Pengadaan Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Komisi V DPR RI, hingga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM) Republik Indonesia.
“Dirjen Pengadaan Tanah Kementerian ATR/BPN mengatakan bahwa yang dipakai Tim Satker adalah data dari pemerintah tahun 2008-2012. Data itu digunakan appraisal dalam mentaksir tanah warga sehingga harganya menjadi rendah. Seharusnya Appraisal menggunakan data tahun berjalan, misalnya yang dulu pohon masih kecil kini sudah besar,” lanjut Nurochim.
“Kita juga sudah audiensi ke Kantor Staf Presiden (KSP), mereka berjanji akan segera turun ke Kendal untuk mempertemukan stakeholder terkait,” sambungnya
Nurochim melanjutkan, hingga hari ini sudah turun surat eksekusi dari Pengadilan Tinggi Negeri Kendal yang akan dilaksanakan pada tanggal 23 – 26 April 2018.
“Kami akan tetap bertahan melawan eksekusi paksa ini jika hak-hak kami sebagai petani, sebagai warga negara Indonesia tidak dipenuhi,” tegasnya.
Nurochim menambahkan, warga dan petani tidak menolak pembangunan jalan tol.
“Kami petani SPI Kendal tidak anti pembangunan. Tapi kami menuntut hak kami, ukuran ukuran tanah, tanaman, usaha, bangunan yang nantinya diperuntukkan untuk jalan tol harus sesuai dengan hak-hak kami, yang berkeadilan. Bagaimana kami mau menegakkan kedaulatan pangan, Jika pemerintah tidak merelokasi lahan-lahan pertanian kami, rumah-rumah kami,” paparnya.
Selanjutnya Henry Saragih menambahkan, konflik ini adalah akibat belum dijalankannya reforma agraria sejati yang dijanjikan oleh Jokowi-JK, yang sudah jadi program prioritas di RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2014-2019.
“Reforma agraria sejatinya bukan hanya redistribusi lahan bagi petani kecil dan petani tak bertanah. Reforma agraria sejatinya juga menetapkan peruntukan mana yang untuk pembangunan, mana yang untuk pertanian, pemukiman, bukan malah merampas lahan dan rumah rakyat,” tutupnya.
Kontak selanjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668
Nurochim – Ketua SPI Kendal – 0852 2512 0832
Teganya pak jokowi lakuin ini,,,,,
Mnurut saya boleh gusur mreka tpi tolong jgn begitu caranya,,,,,,,
Kasihn mreka setidaknya pak jokowi membuka wawasan agar yg di gusur bisa nerima,,,,,,, jgn cuma main gusur yg ada nanti bisa kelaparan sedidaknya pak jokowi harus menyiapkn kebalikkannya mreka jg punya hak atas milik mreka setidaknya harus menggantikanya untuk mreka,
Bener2 jahanam coba bayangin jika persiden tiada rakyat “apakah bisa sempurna,,,,,
Persiden adalah pemilihn dari rakyat agar bisa melindungi rakyatnya tpi apa seteganya itu perbuat,,,,,