BUKITTINGGI. Dunia telah berubah dalam satu abad belakangan. Perampasan tanah kini menjadi tantangan besar di dunia: walaupun belum ada angka yang tetap, dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi pembelian lahan pertanian sekitar 70 juta hektar di seluruh dunia. Dunia mengalami krisis finansial yang menjadikan pangan dan lahan sebagai objek spekulasi besar-besaran.
Perubahan juga tidak hanya terjadi di luar. Pengorganisasian petani, kampanye, dan perjuangan rakyat juga menyesuaikan.
“Kami terus bertukar pengalaman tentang proses pembaruan agraria, cara meraih kemenangan, bahkan kesalahan-kesalahan yang kami buat—agar tak mengulanginya lagi di masa depan,” ujar Henry Saragih, Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) di sela-sela pertemuan internasional mengenai “Pembaruan Agraria di Abad 21”, dengan tema “Mempertahankan Tanah dan Teritori: Tantangan dan Peluang” di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
“Sejak tahun 1998 SPI berdiri, dan para petani anggota terus berjuang mempertahankan tanah dan wilayah adat mereka,” ujar Henry. Anggota SPI yang tersebar di hampir setiap provinsi di seluruh Indonesia adalah petani kecil, masyarakat adat atau kaum tak bertanah. Mereka inilah yang kerap mengalami konflik dengan pihak negara maupun swasta—kebanyakan dalam perkebunan dan hutan.
Namun pekerjaan mempertahankan lahan, wilayah dan kebudayaan—serta kehidupan itu sendiri: pertanian dan produksi pangan—tidak hanya dilakukan oleh para petani anggota SPI. Ada ribuan pejuang lain di lini yang berbeda: pejuang hak asasi, nelayan, kaum muda, masyarakat adat, pegiat lingkungan, konsumen dan bahkan kaum miskin kota.
“Banyak dari kaum muda yang ingin bekerja di pertanian yang tak punya akses terhadap lahan harus pergi ke kota. Perempuan di pedesaan yang punya hak atas tanah harus pergi ke luar negeri untuk menjadi buruh migran,” ujar Yen-Ling Tsai dari Taiwan Rural Front.
Di Indonesia, kaum muda dan perempuan ini seringkali harus melawan perusahaan raksasa dalam mempertahankan lahan dan wilayah mereka. Dalam sepuluh perusahaan teratas yang berinvestasi untuk perampasan tanah, tiga diantaranya mengambil lokasi di Indonesia: Indah Kiat Pulp & Paper (2,3 juta hektar), Tata Power (2 juta hektar), dan Sinar Mas Grup (1,6 juta hektar). Sementara banyak perusahaan lain berlomba-lomba mencaplok lahan di neger ini.
Keresahan mengenai perampasan lahan, sulitnya investasi di pedesaan, serta mempertahankan hak atas tanah dan wilayah petani dan masyarakat adat juga sampai ke masyarakat internasional. Setidaknya saat ini ada dua inisiatif di level tersebut, yang pertama adalah Panduan Sukarela mengenai Pengaturan Hak Guna Lahan, Perikanan dan Kehutanan di Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), serta pengakuan hak asasi petani di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dikonfirmasi mengenai hal ini, Paolo Groppo dari Divisi Pembangunan Pedesaan FAO (Organisasi Pangan Dunia) yang juga hadir dalam acara ini menyatakan,”Inisiatif dari bawah sangat penting, dan FAO terus memfasilitasi hal tersebut seperti yang dilakukan pada kasus Panduan Sukarela mengenai Pengaturan Hak Guna Lahan, Perikanan dan Kehutanan.”
Dia melanjutkan lagi, “dan bahwa pembaruan agraria sejati yang digagas La Via Campesina dan berbagai gerakan di seluruh dunia adalah bagian dari proses demokratisasi rakyat.”
“Pembaruan agraria, redistribusi tanah, air dan kekayaan alam serta pengaturan kembali sistem produksi pangan dan pertanian kita bukan hanya perjuangan petani dan masyarakat adat, namun seluruh masyarakat,” kata Henry Saragih.
“Karena itulah saya mendukung pernyataan bahwa pembaruan agraria di abad ke-21 ini jelas merupakan bagian integral dari kedaulatan rakyat,” ujar dia lagi.
“Dengan demikian, pembaruan agraria adalah kunci perubahan sosial—dan harus segera dilaksanakan,” pungkas Henry.
Kontak lebih lanjut:
Henry Saragih, Ketua Umum SPI – 0811655668