BUKITTINGGI. Pembaruan agraria mampu membangun peradaban baru masyarakat dunia yang lebih berkeadilan sosial. Hal ini diungkapkan oleh Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia pada saat membuka seminar internasional yang bertemakan “Pembaruan Agraria di Abad 2: Tantangan dan Peluang ke Depan” di Balai Sidang Bung Hatta, Bukit Tinggi, tadi pagi (14/07).
Henry memaparkan bahwa rangkaian acara ini digelar dalam rangka meletakkan kembali fondasi pembaruan agraria yang secara nasional telah digagas oleh founding fathers Indonesia.
“Bung Hatta di tahun 1943 telah berujar bahwa untuk mencapai kemakmuran rakyat di masa datang, politik perekonomian mestilah disusun di atas dasar yang nyata sekarang, yaitu Indonesia sebagai negara agraria. Oleh karena faktor produksi yang terutama, maka hendaknya peraturan milik tanah memperkuat kedudukan tanah sebagai sumber kemakmuran bagi rakyat umum. Jadi cita-cita pendiri bangsa ini memang pembaruan agraria untuk membangun peradaban baru di Indonesia yang berkeadilan,” paparnya.
Henry juga mengungkapkan menambahkan SPI akan komitmen meneruskan perjuangan menegakkan pembaruan agraria di abad 21 ini. Dalam usianya yang ke-14, SPI bersama organisasi sosial dan gerakan rakyat di Indonesia telah menyelenggarakan konferensi pembaruan agraria di Cibubur pada 2001, yang telah menghasilkan TAP MPR yang mendukung perjuangan pembaruan agraria.
“Sudah banyak kemajuan tentang pembaruan agraria di Indonesia yang saat ini sudah menjadi agenda politik, tapi sayangnya belum ada kemauan sungguh-sungguh pemerintah untuk benar-benar menerapkannya. Sebenarnya kita sudah punya dasar hukum untuk melaksanakan pembaruan agraria yakni pasal 33 UUD 1945 sebelum revisi dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960” ungkapnya di depan peserta seminar yang berasal dari 26 negara ini.
Henry menambahkan di level internasional, SPI bersama La Via Campesina dan organisasi rakyat lainnya juga telah menginisiasi sebuah inisiatif agar Hak Asasi Petani menjadi sebuah konvensi internasional.
“Insya Allah pada september nanti PBB akan menetapkan Hak Asasi Petani menjadi konvensi internasional,” tambahnya.
Sementara itu, Indra Sago, Majelis Nasional Petani (MNP) SPI asal Sumatera Barat menyampaikan bahwa Sumatera Barat memiliki tatanan agraria unik yang disebut dengan tanah ulayat, yang merupakan jaminan sosial bagi seluruh anak nagari, namun sayangnya sudah sedikit tergerus akibat budaya kapitalis dan neoliberalis.
“Pelaksanaan pembaruan agraria penting untuk menata kembali struktur ketimpangan penguasaan agraria tersebut. Kemudian pendistribusian tanah pada petani, khusus peruntukkannya bagi pembangunan pertanian pangan, sebagai prasyarat utama dalam pembangunan kedaulatan pangan dengan basis keadilan rakyat,” ungkapnya.
Djoni, Kepala Dinas Pertanian Sumatera Barat juga menyampaikan, pemerintahan provinsi menyambut baik konsep pembaruan agraria yang ditawarkan SPI yang memungkinkan petani kecil menjadi lebih mandiri dan sejahtera.
“Sumatera Barat sendiri merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang menolak penggunaan padi hibrida, karena kita percaya padi-padi lokal disini jauh lebih produktif,” ungkapnya.
Sementara itu, Reinaldo Chingore, perwakilan petani La Via Campesina dari Mozambik, membacakan deklarasi pembaruan agraria di abad 21 yang merupakan hasil dari workshop selama tiga hari sebelumnya.