Pemerintah harus lindungi peternak susu

Langkah PT. Nestle menurunkan harga pembelian susu di tingkat peternak diikuti sejumlah Industri Pengolahan Susu (IPS) lainnya. Hal ini sangat merugikan petani peternak susu, dimana harga asupan produksi seperti pakan, suplemen dan obat-obatan terus merangkak naik. Pada tingkat harga saat ini yang berkisar antara Rp. 3700 hingga Rp. 3900 pun masih terasa berat bagi peternak. Apalagi kalau harus diturunkan. Hal tersebut dikemukakan Ketua Departemen Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia (SPI) Achmad Ya’kub, di Jakarta (5/5).

Penurunan harga susu terjadi karena adanya penurunan harga susu di pasar global, dimana 70 persen kebutuhan susu Indonesia diimpor terutama dari Australia dan New Zaeland. Karena ketergantungan yang sangat tinggi terhadap susu impor, maka harga di tingkat peternak akan ikut tergoncang oleh penurunan harga global tersebut. Ya’kub mengingatkan, pada awal tahun 2007 harga susu di tingkat konsumen pernah melejit naik hingga dua kali lipat. Karena, Australia sebagai penghasil susu dunia mengalami kekeringan yang berkepanjangan sehingga terjadi kelangkaan susu di pasar global. Namun, para peternak susu di Indonesia tidak ikut menikmati kenaikan harga tersebut secara proposional. Ironisnya, ketika harga susu di pasar global turun, para peternak yang pertamakali harus menanggung kerugiannya.

Lebih jauh lagi, menurut Ya’kub ketergantungan Indonesia terhadap susu semakin parah ketika pemerintah atas tekanan IMF melalui Letter of Intent (LoI) meliberalkan pasar dalam negeri termasuk susu. Kemudian terbit Inpres No.4 tahun 1998 yang berdampak pada kebijakan perususuan dalam negeri. Sebelumnya, Indonesia mempunyai kebijakan untuk melindungi peternak susu dalam negeri lewat Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yaitu Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan dan Koperasi pada tahun 1983. Saat itu, IPS diwajibkan untuk membeli susu dari peternak lokal disamping susu impor sebagai bahan baku Industrinya. Liberalisasi susu tersebut semakin menggila ketika pada tahun 2003 pemerintah menerapkan bea masuk sebesar 0% alias menghapuskan bea masuk impor susu pada tahun 2003. Sebelumnya bea masuk impor untuk susu sebesar 5%.

Liberalisasi ini terus berlanjut hingga pada bulan Agustus 2008 ketika pemerintah menandatangani kesepakatan perjanjian perdagangan bebas ASEAN- Australia dan New Zealand (AANZ FTA). Dalam perjanjian perdagangan bebas ini, Indonesia dikatakan mendapatkan keuntungan bebas tarif masuk barang ke Australia dan New Zealand, namun tentunya Indonesia pun harus membuka pintu masuk terhadap barang-barang dari Australia dan New Zealand, seperti susu. Menyusul penandatangan AANZ-FTA ini pada tanggal 13 Februari 2009 dikeluarkanlah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 19/PMK.011/2009 tentang penetapan tarif bea masuk atas barang impor produk-produk tertentu. Di mana dalam peraturan tersebut ditetapkan bahwa tarif bea masuk untuk skim milk powder, full cream milk, yoghurt, buttermilk dan produk susu lainnya adalah 0%.

Bagi Australia dan New Zealand yang merupakan Negara eksportir bagi lebih dari 80 persen produk susu dan olahan susu dunia, bersama dengan Uni Eropa, perjanjian ini tentu sangat menguntungkan. Karena sistem peternakan susu mereka memang dirancang untuk pasar ekspor, dimana 90 persen dari produknya ditujukan untuk ekspor dan hanya 10 persen yang digunakan bagi kebutuhan domestik.

Untuk menjawab keresahan peternak susu ini, Ya’kub mendesak pemerintah untuk memberlakukan kembali bea masuk susu impor demi melindungi peternak dalam negeri. Disamping itu, pemerintah harus memberlakukan kembali peraturan yang mewajibkan IPS untuk menyerap produksi susu dari peternak lokal secara proposional. di sisi lain juga pemerintah harus memastikan agarpemilikan sapi peternak pada tingkat yang efisien dalam skala rumah tangga setidaknya  8 ekor sapi perah laktasi.

Terakhir, Ya’kub juga menekankan agar liberaliasasi susu segera dihentikan karena secara jangka panjang sangat merugikan peternak lokal.  “Sudah seharusnya dimulai dari sekarang peternakan dan pertanian dikembangkan secara berkesinambungan yang akan dapat mendorong pembangunan pedesaan dan pertanian ke depannya, demi kesejahteraan petani peternak,”tandasnya.


Narasumber:

Achmad Ya’kub (Ketua Departemen Kajian Strategis SPI) 0817712347
================
SERIKAT PETANI INDONESIA (SPI)
Jl. Mampang Prapatan XIV No.5, Jakarta Selatan 12790
telp. 021 7991890 fax. 021 7993426

ARTIKEL TERKAIT
Deklarasi SPI Blitar: Organisasi Tani Akan Bawa Kemenangan A...
Penataan Lahan Perjuangan oleh SPI Tapung Hilir, Kampar, Ria...
NTP di Desember: Petani Perkebunan Rakyat Semakin Terseok, ...
Petani SPI tolak pilot proyek REDD Petani SPI tolak pilot proyek REDD
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU