Jakarta, 26 Juni 2009—Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggelar konferensi yang membahas tentang krisis ekonomi global dan dampaknya terhadap pembangunan di New York, 24-26 Juni 2009. Namun tampaknya, pemerintah Indonesia tak terlalu menggubris perhelatan penting ini. Padahal konferensi ini bisa menjadi tonggak bagaimana masyarakat internasional bisa mengatasi krisis yang menghantui seluruh dunia sekarang.
Beberapa usulan yang cukup baik diinisiasi, diantaranya: (1) Memperbesar peran PBB sebagai forum yang akuntabel dan mengikat dalam pemecahan krisis; (2) Reformasi lembaga keuangan macam Bank Dunia dan IMF; (3) Meningkatkan bantuan pembangunan ke sektor riil dan perlindungan sosial; (4) Sumber pembiayaan pembangunan baru alternatif; (5) Restrukturisasi radikal terhadap sistem ekonomi internasional; dan (6) Memperbesar peran negara miskin dan berkembang dalam membangun ekonomi global yang lebih adil.
Negara-negara maju seperti AS dan Uni Eropa hanya mendatangkan diplomat kelas dua, disinyalir karena penolakan mereka terhadap usulan-usulan yang lebih kerakyatan dan demokratis tersebut. Selanjutnya, dominasi mereka di dalam Bank Dunia, IMF, WTO dan inisiasi kelompok G8 serta G20 harus tetap dipertahankan. Solusi alternatif yang dibahas di dalam konferensi ini sepertinya memang mengganggu kepentingan negara-negara maju. Padahal kelompok G8 maupun G20 adalah kelompok informal yang tidak memiliki akuntabilitas internasional dan ad hoc semata. Selanjutnya, tidak masuk akal bahwa inisiatif G8 dan G20 akan juga memperhatikan 170-an negara miskin dan berkembang lainnya. Pelembagaan dan akuntabilitas itulah yang sekarang mulai digagas via PBB, yang merupakan perwakilan resmi dari 192 negara di seluruh dunia.
Hal yang lebih penting lagi adalah semangat kolektif yang coba digagas oleh konferensi ini. Krisis, tidak hanya ekonomi—melainkan juga pangan, iklim dan energi, adalah masalah global. PBB sebagai perwakilan resmi negara-negara di dunia, adalah wadah yang tepat untuk menyelesaikan krisis. Negara miskin dan berkembang juga paling terkena dampak dari krisis tersebut, karena imbas ketidakadilan ekonomi global. Karena itu keikutsertaan negara-negara miskin dan berkembang dalam melakukan perubahan mendasar pada sistem ekonomi neoliberalisme yang mendominasi saat ini, menjadi kunci bagi penyelesaian krisis yang berkepanjangan.
Namun sangat disayangkan bahwa Indonesia, sebagai salah satu negara anggota PBB dan negara berkembang, memilih untuk tidak aktif. Pemerintah ternyata lebih suka berperan aktif dalam KTT G20 pada April 2009 lalu, yang hanya mengiming-imingi US$50 milyar (dari total US$1.1 trilyun) untuk pembangunan dan perlindungan sosial, terutama di negara miskin dan berkembang. Padahal untuk menggerakkan ekonomi riil di seluruh dunia, kita perlu beribu-ribu kali lebih dari angka yang ditawarkan tersebut! Pemerintah kita juga lebih suka menambah utang untuk proses pembangunan, terutama yang mengalir dari negara-negara maju G8 dan G20.
Sejalan dengan perkembangan ekonomi di tingkat global, kondisi ekonomi Indonesia ke depan juga diprediksi masih mengelami pelemahan. Gejala ini diperkuat dengan prediksi angka PHK sebesar 1 juta orang pada tahun 2009 (pada akhir April sudah mencapai 121 ribu orang), dan melemahnya berbagai industri seperti manufaktur pengolahan, transportasi, elektronik, pertambangan dan perkebunan. Di ranah pertanian, angka kepemilikan lahan mengecil hingga hanya 0.5 hektar per keluarga tani, sehingga jumlah petani gurem terus meningkat (28,3 juta keluarga tani dan porsinya 55.1% dari total petani Indonesia). Jumlah kelaparan yang di seluruh dunia mencapai 1 milyar jiwa (Laporan FAO, 2009) juga harus diperhatikan sebagai salah satu dampak krisis ekonomi global dan krisis pangan.
Tak pelak lagi, Indonesia butuh solusi mendasar untuk keluar dari krisis berkelanjutan. Solusi pembiayaan dengan utang luar negeri tentu tak bisa lagi jadi pilihan. Apalagi transaksi utang selama ini dilakukan dengan cara-cara yang illegal, tidak transparan, dan melanggar Hak Asasi Manusia. Karena itu diperlukan solusi kongkret berupa penghapusan utang sebagai bagian dari solusi penaganan krisis yang harus dilahirkan dalam konferensi PBB kali ini. Selain itu kami juga memandang bahwa menyerahkan diri ke pasar dalam kerangka neoliberalisme—seperti usul G8 dan G20—pun bukan solusi krisis, melainkan akar masalah itu sendiri. Restrukturisasi radikal terhadap sistem ekonomi di dunia, termasuk pengawasan terhadap spekulasi, privatisasi dan liberalisasi berlebihan (yang pada akhirnya meledakkan bom waktu krisis ekonomi global) harus segera dilaksanakan. Sebaliknya, pelaksanaan praktek demokrasi ekonomi, menciptakan alternatif baru lembaga keuangan, serta penghormatan terhadap kedaulatan negara dan rakyat di negara-negara miskin dan berkembang dalam mengelola perekonomiannya merupakan prinsip-prinsip dasar dalam merumuskan jalan baru keluar dari krisis.
Selanjutnya, Pemerintah Indonesia sekarang dan selanjutnya harus berkerakyatan, lebih kuat dan aktif dalam usaha-usaha ini, terutama dengan konteks kekinian untuk membangkitkan ekonomi kerakyatan—sesuai dengan debat politik dewasa ini. Keseluruhannya ini tentu harus sesuai dengan mandat konstitusi 1945, yakni “…untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,…” *****
Kontak:
Dani Setiawan (08129671744, danisetia@gmail.com), M. Ikhwan (081932099596, m.ikhwan@spi.or.id)
Gerakan Rakyat Lawan Neokolonialisme-Imperialisme
Serikat Petani Indonesia (SPI), Serikat Buruh Indonesia (SBI), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Koalisi Anti Utang (KAU), Indonesian Human rights Committee for Social justice (IHCS), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Sarekat Hijau Indonesia (SHI), Lingkar Studi Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LSADI), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI)