Tahun 2009 merupakan tahun yang menentukan bagi rakyat Indonesia. Pada tahun ini, kekuasaan Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) dan anggota legislatif yang telah berlangsung selama lima tahun habis. Pada tanggal 9 April, telah dilaksanakan pemilihan langsung anggota DPR, DPRD propinsi (pemilihan legislatif), dan DPRD kabupaten/kota. Selanjutnya, pada tanggal 9 Juli telah dilaksanakan pemilihan presiden secara langsung.
Indonesia selalu membanggakan pesta demokrasi lima tahunan ini sebagai proses demokrasi terbesar di dunia (dilihat dari jumlah penduduk Indonesia peserta pemilu). Kenyataannya, pemilu, baik legislatif maupun pilpres, merupakan suatu kekacauan yang akan membuahkan kekacauan-kekacauan lainnya yang lebih parah. Ketidakjelasan Undang-Undang Pemilu, kekacauan DPT, dan berbagai keterlambatan logistik pemilu menambah karut marut perpolitikan Indonesia. Dapat dipastikan, hasil dari pemilu tahun 2009 ini pun tidak akan membawa perbaikan bagi kehidupan rakyat Indonesia, khususnya petani kecil.
Pada tanggal 9 Mei, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya menetapkan hasil perolehan suara nasional pemilu legislatif 9 April lalu. Hasil akhir, jumlah suara total 104.099.785. Dari hasil penghitungan akhir, hanya tinggal sembilan parpol yang berhasil menempatkan wakilnya di DPR RI di antaranya: Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Hati Nurani Rakyat, dan Partai Gerindra. Partai Demokrat yang merupakan partai pendukung utama Pemerintah SBY-JK memperoleh suara terbanyak sebesar 20,85 %.
Sedangkan untuk hasil pemilihan presiden 9 Juli, KPU mengumumkan hasil rekapitulasi dari 33 provinsi dan 117 Panitia Pemilihan Luar Negeri, dengan hasil suara untuk pasangan Megawati-Prabowo 32.548.105 (26,79%), pasangan SBY-Boediono 73.874.562 (60,80%), dan pasangan JK-Wiranto 15.081.814 (12,41%).
Dari hasil pemilu legislatif dan pilpres, dapat dilihat bahwa partai pendukung SBY dan juga SBY sendiri sukses kembali menduduki posisi nomor satu di Indonesia. Padahal jika melihat rekam jejak kebijakan-kebijakan SBY yang lalu, sangat banyak yang merugikan rakyat dan hanya mengutamakan kepentingan pemodal besar serta luar negeri.
Terkait kebijakan-kebijakan sektor pertanian, saat kampanye pemilihan presiden tahun 2004, Susilo Bambang Yudhoyuno dan Jusuf Kalla (SBY-JK) mengeluarkan buku putih, yang didalamnya terdapat program pembaruan agraria. Ketika akhirnya terpilih sebagai presiden Indonesia periode 2004-2009, janji untuk melaksanakan pembaruan agraria itu diperkuat dengan pidato Presiden pada Januari 2007, yang kemudian dikenal sebagai Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) dengan prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Kemudian pada tanggal 11 Juni 2005 di Purwakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta beberapa menterinya mencanangkan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) . RPPK juga menetapkan lahan pertanian abadi seluas 15 juta hektar lahan ber-irigasi dan 15 juta hektar lahan kering, total 30 juta hektar.
Dari kebijakan pemerintah SBY-JK sejak 2004-2009 dibidang pertanian, dapat dikatakan terjadi stagnasi kemajuan di pedesaan, pertanian, dan petani. Padahal rakyat miskin di Indonesia 70%-nya berada di pedesaan. Desa tidak menjadi pembuka lapangan kerja, pemerintah terlalu sibuk membangun industri yang tidak mendorong sektor pertanian rakyat berkembang secara langsung. Desa menjadi pengekspor utama buruh migran dan pekerja informal diperkotaan.
Berbagai konflik agraria pun terus terjadi, PPAN yang telah dijanjikan, akhirnya tidak terealisasi. Diawal tahun 2007, pemerintah mengumumkan kembali jumlah penambahan luas lahan yang akan dibagikan yang tadinya seluas 8.15 juta hektar saja ditambah lagi sejumlah 1.1 juta hektar menjadi total 9.25 juta hektar.
Hal itu disebut sebagai upaya untuk mengurangi jumlah petani gurem yang meningkat dari tahun ke tahun. Ada catatan, program ini diberikan kepada petani sebanyak 60%, sedangkan 40% diperuntukan bagi investor dibidang perkebunan/pertanian. Tapi janji-janji diatas tidak pernah dilaksanakan oleh Pemerintah SBY-JK. Bukan pembaruan agraria yang dijalankan, tapi justru program Layanan Rakyat untuk Sertipikasi Tanah (Larasita) dalam kerangka pasar tanah ala Bank Dunia dan ADB.
Sejumlah kebijakan yang dikeluarkan dalam periode SBY-JK ini sepertinya justru menjauhkan petani dari akses terhadap tanah. Beberapa kebijakan pemerintah yang menghambat akses petani terhadap tanah antara lain: Pertama, Peraturan Presiden No. 36/2005 dan penggantinya yaitu Peraturan Presiden No. 65/2006 yang mengatur pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Kedua, Instruksi Presiden No. 1/2006 dan Peraturan Presiden No. 5/2006 tentang Bahan Bakar Nabati. Ketiga, Undang Undang No. 25/2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) dengan berbagai turunannya. Dan teraskhir, Instruksi Presiden No. 5/2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008-2009 termasuk di dalamnya mengatur Investasi Pangan Skala Luas (Food Estate).
Terdapat pula rencana pemerintah untuk pembangunan tol Trans Jawa sepanjang 652 km. Untuk pembangunan tol ini 655.400 hektare lahan pertanian harus dikonversi. Belum lagi 60 Ha. hutan lindung di Jawa Tengah dan Jawa Timur juga jadi korban. Padahal tingkat konversi lahan di Jawa sudah mencapai rata-rata 40.000 hektar per tahun. Rencana pembangunan jalan tol ini dilakukan dengan menggunakan utang dari Asian Development Bank (ADB) sebesar 500 juta US$.
Konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian terus meningkat. Tercatat konversi lahan sawah sedikitnya 10 ribu hektar per tahun. Kepemilikan lahan oleh petani semakin gurem, yakni tinggal 0.3 hektar di Pulau Jawa dan 1.19 hektar di luar Jawa. Bahkan akibat konversi lahan ini, di Kalimantan Timur semakin banyak petani tanpa tanah. Setidaknya 5.000 ha lahan pertanian menjadi lahan pertambangan batu bara yang tersebar di 12 kabupaten.
Pada bulan Maret 2007pemerintah mengesahkan Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang isinya adalah meluaskan kekuasaan modal pada penguasaan dan kepemilikan agraria. Undang-undang ini sangat kental dan sarat dengan ideologi pasar, serta dengan gampangnya menggantungkan nasib bangsa di tangan investor.
Undang-undang ini juga berpotensi menambah konflik agraria terutama dengan tanah petani di pedesaan, kawasan hutan dan tanah ulayat. Bagian dalam undang-undang ini yang secara langsung terkait dengan sektor pertanian ialah: Pasal 21 (pemerintah akan memberi kemudahan bagi investor untuk memperoleh hak atas tanah), dan Pasal 22 (tentang Hak Guna Usaha selama 60 tahun yang bisa diperpanjang menjadi 95 tahun, Hak Guna Bangunan selama 50 tahun yang bisa diperpanjang menjadi 80 tahun, dan Hak Pakai selama 45 tahun yang bisa diperpanjang menjadi 70 tahun).
Dari berbagai uraian di atas jelas terlihat, bahwa Pemerintahan SBY periode 2004-2009 merupakan suatu pemerintahan yang pro neoliberalisasi. Dan dengan berkuasanya kembali SBY, dengan diperkuat Boediono sebagai wakilnya pada periode 2009-2014, tidak ada harapan bagi petani kecil dan masyarakat kecil untuk dapat memperbaiki kehidupannya. Pembaruan agraria yang dijanjikan, hanya strategi kampanye yang akan segera dilupakan setelah menduduki kekuasaan.