PONOROGO. Bencana hama wereng yang menyerang sebagian petani di daerah Jawa Timur beberapa waktu lalu ternyata menyisakan banyak cerita. Mulai dari hama wereng yang mampu meludeskan hektaran lahan padi hanya dalam waktu beberapa hari saja, kisah gagal panen yang memaksa beberapa keluarga untuk menyiapkan gamplek dan nasi jagung, hingga keunggulan penanaman padi dengan metode SRI.
Ibu Sukanti (50 tahun), petani perempuan asal Dusun Kendal, Desa Blembem Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur mengungkapkan bahwa dengan lahan sawah dua petak miliknya, pada panen sebelumnya mampu menghasilkan 976 kg gabah. Namun kali ini Bu kamti hanya mendapatkan 110 kg gabah.
“Wereng tiba-tiba datang, dalam waktu 2 hari semua batang padi sudah dipenuhi kutu wereng. Kami mencoba menyemprotnya dengan pestisida jenis interprid dan rahwana. Tapi bukannya hama yang mati atau berkurang, justru semakin banyak dan bertambah terus, akhirnya kami pasrah saja tidak melakukan apa pun” ungkapnya di lahan sawahnya (24/07).
Sementara itu menurut Ibu Aminah (60 Tahun) yang juga berprofesi sebagai petani menutrukan bahwa keluarganya memang terbiasa menyimpan gamplek, tapi musim panen kali ini harga gamplek justru naik karena banyak keluarga yang membeli gaplek karena padi mereka gagal panen.
“Biasanya dengan lahan seluas 1800 m² saya bisa menghasilkan panen gabah basah 1,2 ton. Akan tetapi, karena serangan hama wereng pada panen kali ini gabah yang dihasilkan sangat merosot dan hanya menghasilkan 585 kg setelah dipotong upah pekerja,” tuturnya.
Lain lagi pengalaman Ibu Tukiyem dan Pak Irhamni, alumni sekolah lapang Pusdiklat Serikat Petani Indonesia (SPI) di Bogor angkatan IV yang lalu. Uji coba penanaman padi dengan menggunakan metode SRI (System Rice Intensification) di lahan masing-masing justru menghasilkan panen yang baik.
Pak Irhamni melakukan uji coba di lahan seluas 15 x 23 m atau sekitar 345 m² dengan benih Situgintung dan mampu menghasilkan gabah seberat 250 Kg. Hal ini berbanding terbalik dengan lahannya yang seluas 2800 m² yang ditanami benih Ciherang dengan sistem konvensional (non-SRI) dan hanya menghasilkan gabah seberat 1200 Kg. Hasil panen 1,2 ton ini sudah lebih baik dari tetangga lainnya, karena dia sudah mengkombinasikan dengan pemakaian pupuk organik, seperti bokasi dan pupuk cair dari bahan dasar rebung bambu.
Hal yang sama juga dituturkan oleh Ibu Tukiyem. Dia menanam benih padi Situbagendit dengan metode SRI pada seperempat bagian lahan, sedangkan selebihnya benih padi Ciherang dengan metode Konvesional di hamparan sawah yang sama. Tapi ketika hama wereng menyerang, padi hanya memakan rumpun batang padi Ciherang, dan tidak menyerang batang padi Bagendit.
“Hasilnya, padi Ciherang saya ludes diserang hama dan padi bagendit ala SRI saya malah bagus dan bulirnya penuh. Kalau tahu akan begini, sejak awal saya akan menanam system SRI. Tapi di musim tanam berikutnya saya akan menggunakan metode SRI untuk semua lahan sawah saya.” ungkap Ibu Tukiyem.
Perbedaan perlakuan tanam metode SRI dan metode konvensional yang dilakukan Pak Irhamni dan Ibu tukiyem :
Metode | Benih | Pemupukan | Pengendalian hama | Hasil
|
Demplot yang dibuat oleh ibu Tukiyem | ||||
SRI :
Luas lahan 280m²(20 ru) |
Situbagendit |
|
Tidak ada | 1,09 kwintal |
Konvensional:
Luas lahan 2800 m² |
ciherang |
|
Tidak ada | 9, 62 kwintal |
Demplot yang dibuat oleh Pak Irhamni | ||||
SRI :
luas lahan 345 m² |
Situbagendit |
|
2, 5 kwintal | |
Konvensional : luas lahan
2800 m² |
Ciherang |
|
Disemprot dengan pestisida interprid dan rahwana | 1, 2 Ton |
fghh