PADANG. Butuh kemauan politik yang kuat dari Bupati Pasaman Barat untuk merekomendasikan izin pengelolaan hutan agar diberikan kepada rakyat daripada pihak perkebunan. Hal ini diutarakan oleh Sukardi Bendang, Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Barat (Sumbar) pada acara dialog interaktif yang bertemakan “Strategi Penyelesaian Konflik Kehutanan” di Padang (18/08).
Sukardi juga menyampaikan bahwa salah satu ancaman kekurangan pangan di Indonesia adalah tingginya alih alih fungsi lahan pangan dan semakin berkurangnya lahan cadangan bagi pengembangan pertanian.
“Kawasan hutan yang luas cenderung diberikan izin pengelolaannya hanya kepada perusahaan-perusahaan perkebunan di Indonesia,” tuturnya.
Dialog yang digelar bersama oleh SPI Sumbar, Walhi Sumbar, LBH Padang, dan Qbar ini juga menggelar gelar kasus SPI Basis Simpang Tenggo. Kasus tepatnya terjadi di Nagari Airbangis, Kecamatan Sungai Beremas, Pasaman Barat. Kasus ini berawal dari surat hibah per tanggal 20 Januari 2008 dari Yulisman St. Parlindungan ( Tuo Waris/Daulat Koto Rajo Pasaman) kepada dirinya sendiri – atas nama Dewan Pengurus Basis (DPB) SPI Simpang Tenggo – yang menyerahkan hibah lahan seluas seluas 2000 hektare. Masyarakat kemudian membuka perkampungan di hutan bekas pengambilan kayu PT Sumber Surya Semesta tersebut. Menurut Tuo Waris, tanah ini hak ulayatnya di bawah kekuasaan Daulat Koto Rajo Pasaman, dan dihibahkan untuk lahan pertanian dan pemukiman masyarakat. Namun hal yang terjadi di lapangan, aparat masih sering mengintimidasi petani dan mengancam akan memenjarakan mereka jika masih menggarap lahan yang oleh Dinas Kehutanan disebut sebagai kawasan hutan lindung tersebut.
Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Barat, Hendri Octavia yang hadir pada dialog ini, menjanjikan keberpihakan yang lebih tulus pada rakyat, terkait kepastian hak pengelolaan hutan.
“Paradigma pembangunan kehutanan kita ke depan, bergeser pada kepentingan rakyat di sekitar kawasan hutan,” ujar Hendri.
Ia mengakui, paradigma kebijakan pada era sebelumnya salah, karena terlalu berpihak pada konglomerat. Hal itu menimbulkan sejumlah polemik, di antaranya seperti dilakukan sebagian warga yang memilih masuk ke dalam kawasan hutan untuk menggarap lahan.
“Itu tidak bisa disalahkan, karena warga memang butuh lahan,” tambahnya.