JAKARTA. Selama tahun 2017, setidaknya 117.054 KK petani hak asasinya dilanggar, dengan melibatkan lahan konflik seluas 401.842 hektar. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) Agus Ruli Ardiansyah dalam konferensi pers memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, 10 Desember, pagi ini di Jakarta (10/12).
Agus Ruli menyampaikan, setelah enam puluh sembilan tahun Deklarasi Universal Hak Asasi manusia, fakta di lapangan pelanggaran terhadap HAM masih terjadi dimana-mana.
“Di sektor agraria masih banyak terjadi penggusuran dan kriminalisasi terhadap petani. Berdasarkan data sepanjang tahun 2017 terdapat 125 kasus konflik agraria di 53 kabupaten dari 17 Provinsi di Indonesia yang tentu saja kesemuanya melanggar hak asasi petani,” tegas Ruli.
Agus Ruli menjelaskan di antara 125 kasus tersebut, ada beberapa kasus yang menguat di permukaan dan menjadi sorotan publik adalah peristiwa penghancuran 554 hektar lahan petani dan mengubur 77 rumah petani SPI di Desa Mekar Jaya, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara oleh PT. Langkat Nusantara Kepong (sebagian besar sahamnya milik perusahaan Malaysia) yang dibantu Brimob dan ribuan satpol PP.
“Baru-baru ini juga ada kasus kriminalisasi terhadap 10 petani Desa Pasir Datar Indah dan Desa Sukamulya, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat oleh PT. Surya Nusa Nadicipta (SNN),” jelasnya.
“Di Jawa Tengah, Kabupaten Kendal terdapat lebih dari 400 petani dari 9 desa harus terusir dari tanahnya sendiri karena akibat proyek pembangunan jalan tol Batang-Semarang, namun lebih ironisnya mereka harus mengalami kecurangan dan ketidakadilan atas harga ganti rugi dan ukuran luas tanah yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Kendal,” papar Ruli.
Sementara itu, berdasarkan pembagian konsesi lahan konflik, SPI mencatat status eks-HGU (Hak Guna Usaha) tanah terlantar dan lainnya menempati posisi pertama dengan luas lahan 194.913 hektar atau sekitar 48%, sedangkan konsesi paling sedikit adalah tanah transmigrasi dengan luas 3.400 hektar lahan atau sekitar 0,84% yang melibatkan 1.925 keluarga petani.
“Data-data di atas menunjukkan bahwa perlindungan dan penegakan hak asasi petani sangat rendah. Konflik agraria yang terjadi di Indonesia semakin mempersulit kehidupan petani, ditambah dengan mangkraknya pelaksanaan reforma agraria. Secara keseluruhan hal ini jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Nomor 19 tahun 2013 yang mengamanatkan perlindungan terhadap petani,” lanjut Agus Ruli.
Agus Ruli menekankan, untuk menegakkan HAM di sektor agraria, untuk menegakkan hak asasi petani, negara harus memberikan perlindungan dan pemenuhan seluruh hak asasi petani
“Untuk itu kami Serikat Petani Indonesia (SPI) menuntut pemerintah untuk segera menjalankan reforma agraria sejati, menuntaskan konflik-konflik agraria dengan mendistribusikan tanah kepada petani kecil; dan segera membentuk kelembagaan reforma agraria dengan kewenangan yang kuat untuk dapat menjalankan mandat UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) No.5 Tahun 1960 dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden,” desaknya.
Menuju Deklarasi PBB Mengenai Hak Asasi Petani dan Masyarakat yang Bekerja di Pedesaan
Sementara itu, di level internasional, upaya pengakuan hak asasi petani mendapat titik cerah. dari Sesi ke-36 Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dewan HAM PBB menutup sesi ke-36 tersebut dengan merilis resolusi bernomor (A/HRC/36/58) tentang “kelompok kerja terbuka antar pemerintah mengenai draf deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai hak petani dan masyarakat yang bekerja di daerah pedesaan. Diwarnai dengan penolakan dari dua negara, pemerintah Amerika Serikat dan Inggris, 11 negara abstain (tidak memberikan suaranya), dan 34 negara setuju akhirnya sesi ke-36 ini berhasil menyetujui draft “Deklarasi Hak Asasi Petani dan Orang-Orang yang Bekerja di Pedesaan” ini.
“Dewan HAM PBB telah memutuskan untuk dilaksanakannya sesi ke-5 kelompok kerja terbuka antar pemerintah mengenai draf deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai hak-hak petani dan masyarakat yang bekerja di daerah pedesaan yang akan dilaksanakan pada April 2018. Hasilnya akan dibawa ke majelis umum PBB di New York, Amerika Serikat, bulan September 2018, untuk mendapat pengesahan. Berdasarkan posisi suara yang ada sekarang kita optimis berhasil,” papar Ruli.
Agus Ruli memaparkan deklarasi ini nantinya akan sangat bisa digunakan untuk memperkuat kerja-kerja perjuangan menegakkan hak asasi petani dari tingkat nasional sampai tingkat desa, yang selama ini banyak dicederai dan dirampas oleh perusahaan-perusahaan transnasional, ataupun perusahaan negara.
“Semoga perjuangan yang berawal dari kampung-kampung, dari desa-desa di Indonesia ini bisa memberikan manfaat untuk petani kecil dan mereka yang tinggal dan bekerja di desa sehingga hak asasi mereka terjamin dan terlindungi,” tutupnya.
Kontak Selanjutnya:
Agus Ruli Ardiansyah – Sekretaris Umum DPP SPI – 0812 7616 9187