JAKARTA. Tepat pada Hari Koperasi yang ke- 57 atau sejak penyelenggaraan Kongres Koperasi Pertama 12 Juli 1947 di Tasikmalaya, gerakan koperasi Indonesia saat ini – bisa dikatakan – masih dihadapkan pada situasi sulit di tengah arus liberalisasi perdagangan, jasa dan investasi dibawah rezim WTO (Organisasi Perdagangan Dunia), FTA (Perjanjian Perdagangan Bebas), CEPA (Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Menyeluruh), hingga Masyarakat Ekonomi Asian 2015.
Menyikapi hal ini, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyampaikan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 28 Mei 2014, yang membatalkan UU Koperasi No.12 tahun 2012 – yang isinya mengubah karakter koperasi yang gotong-royong, kekeluargaan menjadi karakter persero dan juga korporasi yang berorientasi untung dan berdasarkan modal yang disertakan – adalah angin segar bagi koperasi di Indonesia, khususnya bagi petani dan nelayan.
“Tentu saja kita, rakyat, petani dan nelayan harus mengawal perbaikan untuk memastikan mandat MK tersebut dijalankan. Termasuk dalam hal ini adalah mencermati apa yang akan disampaikan oleh Presiden SBY dalam Perayaan Tingkat Nasional Hari Koperasi, hari ini, 15 Juli 2014, di Medan Sumatera Utara,” ungkap Henry di Jakarta pagi ini (15/07).
Henry menyampaikan, momen Hari Koperasi tahun ini bisa dijadikan pemerintah untuk kembali menyusun atau memperbaiki UU Koperasi tersebut sesuai dengan mandat dari Hasil keputusan MK tersebut, bahwa filosofi koperasi sebagai usaha bersama berdasarkan atas kekeluargaan, sesuai dengan pasal 33 UUD 1945.
“Korporasi sudah disambut karpet merah oleh pemerintah, setidaknya melalui Perpres No.39 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Pemerintah seharusnya juga memberi karpet merah, bahkan lebih memprioritaskan pengembangan koperasi berasaskan kekeluargaan yang merupakan bentuk unit usaha yang paling sesuai dengan prinsip ekonomi kerakyatan yang dicita-citakan para founding fathers negara ini,” tutur Henry.
Henry mengemukakan, koperasi saat ini memang dihadapkan pada permasalahan internal, seperti permodalan, dan kualitas sumber daya manusia, baik dari sisi manajemen organisasi maupun pengembangan usaha untuk untuk mendongkrak aset dan putaran usaha yang bermanfaat bagi anggota koperasi. Belum lagi kebijakan perbankan yang saat ini tidak berpihak kepada kaum tani dan nelayan.
“Tidak bisa dipungkiri realitas adanya kredit koperasi macet di tingkat petani, dikarenakan tingkat kemiskinan mereka yang membuat dana usaha koperasi diperuntukkan untuk konsumsi. Hal ini wajar karena semakin miskin, semakin besar pula penggunaan uang rumah tangganya untuk konsumsi. Di sisi lain dana milyaran rupiah yang digelontorkan pemerintah untuk koperasi – misalnya Koperasi Usaha Tani ( KUT) – juga tidak cemerlang perkembangannya,” papar Henry.
Oleh karena itu menurut Henry, Presiden baru yang akan terpilih nantinya harus memberikan peran lebih lagi kepada koperasi, dan melahirkan kebijakan-kebijakan pertanian yang pro pada petani kecil sehingga berkontribusi terhadap turunnya angka kemiskinan di pedesaan dan meningkatkan kesejahteraan warga desa mayoritas kaum tani.
“SPI berharap presiden yang terpilih akan mampu menerapkan koperasi sebagai dasar sistem ekonomi rakyat Indonesia,” tambahnya.
Kontak lebih lanjut:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668