CHIANG MAI. Krisis ekonomi yang dihadapi oleh negara-negara maju berdampak terhadap perubahan tren pertumbuhan ekonomi dunia. Pergerakan arus investasi telah bergeser secara besar-besaran ke negara-negara selatan khususnya kawasan Asia. Situasi tersebut direspon oleh berbagai pemerintah di kawasan Asia secara terbuka dengan memberikan berbagai kemudahan dan dukungan investasi. Isu krisis pangan global turut serta mendorong perusahaan-perusahaan agribisnis untuk meningkatkan investasi dan mengincar lahan-lahan pertanian yang subur di Asia.
Fenomena tersebut mendorong peningkatan praktek perampasan lahan-lahan pertanian di pedesaan oleh perusahaan agribisnis yang berambisi menguasai perdagangan pangan. Masa depan masyarakat pedesaan di Asia dihadapkan pada ancaman perampasan lahan yang lebih massif.
Kenyataan tersebut menjadi tantangan baru bagi perjuangan reforma agraria yang telah dilakukan oleh seluruh anggota La Via Campesina. Menyikapi hal tersebut, organisasi-organisasi tani anggota La Via Campesina di kawasan Asia mengadakan pertemuan regional dalam Konferensi Global Campaign on Agrarian Reform (GCAR) di Chiang Mai, Thailand pada 9-11 Nopember yang lalu.
Konferensi tersebut dihadiri oleh anggota La Via Campesina dari Indonesia, Thailand, India, Nepal, Bangladesh, Kamboja, Philipina dan Timor Leste.
Henry Saragih, Koordinator Umum La via Campesina yang hadir dalam konferensi tersebut menyatakan bahwa, konferensi tersebut menjadi momentum penting untuk merumuskan ulang strategi kampanye Reforma Agraria dalam menyikapi ancaman land grabbing (perampasan lahan) yang semakin meningkat.
“Praktek land grabbing di kawasan Asia bukanlah hal yang baru. Praktek land grabbing telah berlangsung semenjak masa kolonial dan terus berlanjut hingga saat ini menjelma dalam bentuk baru yang kita sebut sebagai neo-kolonialisme. Ancaman perampasan tanah yang dilakukan oleh perusahaan agribisnis semakin terbuka lebar, karena dilegalisasi oleh pemerintah melalui berbagai regulasi yang disiapkan untuk memuluskan arus investasi”, papar Henry Saragih dalam pembukaan konferensi tersebut.
Rohman Alqolami, perwakilan Serikat Petani Indonesia (SPI) yang juga hadir dalam acara tersebut menyampaikan bahwa reforma agraria adalah solusi perbaikan tata kelola pertanian khususnya di Indonesia. Rohman yang juga ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Sumatera Selatan (Sumsel) itu juga memaparkan perjuangan beberapa konflik perampasan lahan yang terjadi di daerahnya.
“Beberapa waktu, anggota SPI di Sumsel mengalami konflik dengan pihak PTPN VII yang berakhir dengan penembakan petani oleh pihak aparat. Hal ini seharusnya tidak terjadi apabila reforma agraria telah berhasil ditegakkan,” tutur Rohman.
Konferensi GCAR yang berlangsung selama tiga hari tersebut menyepakati serangkaian rencana aksi untuk melaksanakan Kampanye Global Reforma Agraria di kawasan Asia. Kegiatan yang sama juga dilakukan oleh seluruh anggota La via Campesina di tiap wilayah, Amerika Latin, Eropa serta Afrika, untuk membahas strategi Kampanye Global Reforma Agraria.
Hasil-hasil pembahasan dari berbagai wilayah tersebut akan dibawa dalam International Conference on Landgrabbing yang diadakan di Selingue, Mali.