Jakarta, 30 Juli 2008–PERUNDINGAN Agenda Doha WTO kolaps kemarin (29/7), di Jenewa, Swiss. Perundingan yang dimulai dari tahun 2001 ini sudah sejak lama jatuh-bangun: Mulai tahun 2003, 2005, hingga tahun 2006. Penyebabnya satu: bahwa perdagangan bebas di tiga sektor (pertanian, industri dan jasa) adalah masalah, bukan solusi dari problem rakyat.
Di dalam sektor pertanian, hampir tidak ada kesamaan persepsi di antara negara-negara miskin dan berkembang dengan negara maju. Di tingkatan riil, hasil perundingan WTO sejak tahun 1995 telah banyak merugikan petani kecil di kedua belah pihak. Agenda Doha juga secara umum hanya memaksa negara-negara untuk membuka pasarnya, sementara proteksi diminimalisasi. Di sisi lain, masih terjadi perdebatan besar mengenai proteksi luar biasa yang dipraktekkan di Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE). Hal demikian juga berlaku pada sektor industri dan jasa.
Sementara kita melihat, liberalisasi sektor pertanian tidak akan memecahkan krisis pangan saat ini. Yang diinginkan petani adalah proteksi, sehingga ada kepastian dan insentif dari pasar domestik. Petani bukan anti-perdagangan, namun perdagangan haruslah adil. Tidak seperti perdagangan bebas ala WTO, yang hanya menguntungkan segelintir tengkulak, pedagang dan perusahaan transnasional.
Dalam proposal yang lebih kompromistis di dalam WTO, Indonesia mengusulkan Special Product dan Special Safeguard Mechanism (SP/SSM) yang diharapkan melindungi petani. Petani menilai hal tersebut harus dilakukan semaksimal mungkin, karena perlindungan petani bukanlah diatur oleh pasar. Perlindungan petani adalah kewajiban negara (state obligation), lagipula pangan dan petani bukanlah sekadar dinilai komoditas dan tenaga kerja belaka.
Jika melihat proyeksi keuntungan dari Agenda Doha, negara miskin dan berkembang hanya akan memperoleh ‘potongan kue’ sebanyak US$ 16 milyar. Jika dibagi ke seluruh rakyat di negara berkembang, tak sampai satu sen keuntungan mampir ke tangan rakyat per harinya. Di lain pihak, kerugian pendapatan negara dari pemotongan tarif, dan berjuta orang dalam sektor pertanian dan industri yang kehilangan pekerjaan sangatlah mengerikan.
Agenda Doha sangatlah buruk, dan sudah pula gagal berulang kali. Prosesnya pun tak demokratis, dengan membiarkan hanya segelintir negara G-7 yang mengambil keputusan. Sudah saatnya Indonesia menguatkan dirinya dalam forum regional dan multilateral, dan adalah mutlak menolak Agenda Doha, serta WTO pada umumnya. Dalam 7 tahun, Agenda Doha sudah kolaps dan dalam 13 tahun, penderitaan rakyat atas liberalisasi WTO sudah sangat mengerikan. Sudah saatnya Indonesia dan negara-negara lain melupakan WTO. Sudah saatnya pula melihat ke depan, menuju sebuah sistem perdagangan multilateral yang adil. Sistem yang bisa melindungi petani, serta rakyat pada umumnya; dan yang bisa beraksi nyata mengatasi krisis pangan, energi, iklim dan finansial.***
Kontak:
Henry Saragih, Ketua umum SPI (0816 31 4444 1, email: hsaragih@spi.or.id)
Mohammed Ikhwan, Ketua Departemen Luar Negeri SPI (0819 320 99596, email m.ikhwan@spi.or.id)