Kelahiran Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, adalah manifestasi dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 dan merupakan cerminan dari adanya upaya dari pendiri negara (founding fathers) Republik Indonesia saat itu untuk menata kembali ketimpangan struktur agraria yang lebih adil sebagai akibat dari sistem corak produksi kolonialisme dan feodalisme. Oleh karena itu bagi rakyat, terutama petani miskin dan buruh tani, lahirnya UUPA 1960 merupakan tonggak yang sangat berharga untuk dilaksanakannya pembaruan agraria. Juga hari kelahiran UUPA No. 5/1960 dijadikan sebagai Hari Nasional Petani Indonesia.
Namun, oleh rezim orde baru UU ini malah dimandulkan. Posisi UUPA 1960 dibiarkan ada tapi tak pernah dijalankan secara konsekuen. Hingga kini pun pemerintah justru mengeluarkan banyak kebijakan agraria yang bertentangan dengan UUPA 1960, seperti UU No. 7/2004 tentang Sumber daya air, Keppres 34/2003 tentang kebijakan nasional dibidang pertanahan, UU No. 18/2004 tentang perkebunan. Kemudian disusul dengan keluarnya peraturan presiden No. 36/2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum serta revisinya perpres 65/2006. Bahkan atas anjuran lembaga internasional seperti Bank Dunia (World Bank), pemerintah ingin merevisi UUPA 1960.
Sebenarnya ada harapan besar bagi petani ketika ada program nasional yang dicanangkan SBY-JK pada 11 Juni 2005 berupa program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Kemudian disusul dengan pengumuman pemerintah pada 28 September 2006 yang menyatakan akan melaksanakan pembaruan agraria dengan menyediakan lahan seluas 8,15 juta hektar via Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Bahkan, janji pelaksanaan pembaruan agraria diperkukuh melalui pidato Presiden SBY pada 31 Januari 2007. Namun kini, semua janji presiden dan Jusuf Kalla itu hanya tinggal janji. Semuanya tidak dilaksanakan.
Sejarah Konfik Agraria di Ujung Kulon
Berawal ketika pada tahun 1921, ujung kulon dan Pulau panaitan ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai cagar Alam ujung Kulon _ Panaitan SK. Pemerintah Hindia Belanda merubah Cagar alam Ujung Kulon Panaitan menjadi Suaka Marga Satwa Ujung Kulon – Panaitan SK. Pemerintah hindia Belanda No. 17 tanggal 14 juni 1937.
Pada tahun 1938 Legon Pakis telah menjadi sebuah kampong yang besar,yang mana didalamnya terdapat ± 126 (seratus dua puluh enam) rumah tinggal dan 1 (satu) sarana ibadah yaitu sebuah bangunan mesjkid.
Pada tahun 1958 Menteri Pertanian mengeluarkan putusan dengan No.48/Um/1958 tertanggan 17 April 1958 mrngrnai batas-batas kawasan hutan lindung dengan lahan pertanian.
Pada tahun 1984 hutsn lindung Suaka Margasatwa kembali diubah menjadi Taman Nasional Ujung Kulon melalui SK. Menteri Kehutanan No. 96/Kpst/II/1984, dimana dalam penataan batas areal kawasan hutan lindung dengan batas luar kawasan hutan lindung tidak berdasarkan keputusan menteri Kehutanan Nomor 339/Kpst-II/1990, dan perubahannya sebagaimana ditetapkan dalam keputusan Menteri Kehutanan, dijelaskan bahwa dalam Berita Acara Pengumuman Pemancangan Trayek Batas ditandatangani oleh LOurah/Kepala Desa, Camat/kepala Wilayah Kecamatan, Kepala Kesatuan Pemangku Hutan dan Konservasi Tanah Daerah Tingkat II/ kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Daerah tingkat II yang bersangkutan dan Bupati/ Kepala Daerah Tingkat II.
Kenyataannya dalam penataan batas kawasan tersebut hanya dilakukan oleh sebelah pihak TNUK tanpa didampingi oleh wakil dari pemerintah daerah, wakil dari kecamatan maupun dari desa setempat, bahkan menurut pengakuan salim (alm) warga cikawung, petugas TNUK yang ikut melaksanakan pengukuran tersebut hanya mengaku bahwa setelah mereka merasa kelelahan karena jarak pengukuran begitu jauhsehingga sampai di kampungsalam mereka membelokan batas kearah kanan menuju tanjung lame padahal menurut beliau batas tersebut adalah lurus kesungai Cilintang.
Tujuan membelokan alur batas tersebut tiada lain hanya untuk mempercepat pekerjaan saja, karena tidak adanya pengawasan dari pihak manapun sehingga dalam pelaksanaanya pengukuran tidak akurat/tidak sesuai dengan ketentuan – ketentuan sehingga menimbulkan permasalahan-permasalahan dikemudian hari seperti sekarang ini.
Kejadian penangkapan dan intimidasi terus terjadi terhadap masyarakat Pada tahun 2006 terjadi penembakan terhadap salah satu petani (Komar) oleh petugas Patroli TNUK. Dan terjadinya perusakan gedung dan fasilitas milik TNUK yang dilakukan oleh masyarakat sehingga kerusuhan terus bertambah. Enam bulan kemudian setelah dilakukan beberapa kali pertemuan antara masyarakat,TNUK dan aparat penegak hukum hingga legislative salah satunya pertemuan di Hotel Kharisma Labuan dan membuahkan hasil Islah (damai). Tapi apa yang terjadi pada 23 Mei 2007 lima orang petani di kawasan TNUK ditangkap.oleh aparat kepolisian dengan tuduhan melakukan pengrusakan Fasilitas TNUK. Tapi salah satu anggota patroli yang melakukan penembakan terhadap petani diperoses secara sederhana. Akhirnya pada bulan Juni masyarakat melakukan unjuk rasa di desa ujung jaya dengan menuntut. Bebaskan 5 orang warga yang ditahan, kembalikan tanah warga yang di rampas dan boikot TNUK.
Pada tahun 2008 bulan april tanggal 4 sekitar pukul 00.00 Wib terjadi lagi penangkapan terhadap 2 (dua) orang petani Ujungkulon dengan tuduhan perambahan hutan padahal petani tersebut menggarap lahan untuk menanam padi di tanah yang disengketakan dan itu sudah dilakukan sejak tahun 1959 oleh nenek moyangnya.
Sumber keterangan Sejarah Ujungkulon:
Sdr. Suhendi (37 Thn)
Sdr. Walma (32 Thn)
Bpk. Carik Udin/ Aparat Desa Ujung Jaya
Bpk. Lurah Kamirudin/ Kepala Desa Ujung Jaya
Bpk. Suhaya. Ketua Serikat Tani Ujung Kulon (STUK )
Tanah untuk Rakyat !. Land Reform dan perjuangan rakyat hak atas tanah serta kekerasan aparatur negara terhadap perjuangan rakyat tersebut, selalu menjadi warna kisah perjuangan kita dalam menata ulang sistem penguasaan lahan di bumi pertiwi ini. Kini, kisah kekerasan aparat tersebut kembali terjadi, dengan ditangkapnya 2 orang petani Ujung Kulon yang sedang memperjuangkan tanahnya atas perampasan yang dilakukan oleh pihak Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK).
Niat suci para petani yang untuk berjuang mempertahankan tanah warisan leluhurnya, yang dengan tanah itu dapat menghidupi diri, keluarga serta masyarakat dan bangsanya, tetapi perjuangan kaum tani Ujung Kulon selalu dijawab dengan sikap represif aparat serta tuduhan kriminalisasi terhadap perjuangan yang dilakukannya.
Petani bukan Penjahat, Petani pemberi makan dunia !, Kriminalisasi perjuangan petani Ujung Kulon, telah menambah panjang deretan kasus perjuangan petani yang diwarnai oleh kekerasan pihak aparat keamanan, pelanggaran HAM. Tuduhan yang dilontarkan pihak aparat adalah pengrusakan wilayah konservasi Taman Nasional Ujung Kulon sama sekali tidak pernah bisa masuk akal sehat, karena lahan pertanian petani bukan berada di wilayah konservasi, dan malah pihak TNUK dengan sepihak telah memperluas wilayah konservasinya melewati batas tanah-tanah rakyat. Perluasan wilayah konservasi tersebut jauh menembus batas tanah dan perkampungan petani Ujung Kulon. Dari situasi tersebut betapa direndahkannnya martabat manusia dibandingkan dengan binatang-binatang yang berada di taman nasional ujung kulon, maka dari itu atas nama fakta dan hati nurani kami dari Serikat Petani Indonesia (SPI) Banten Menuntut.!
Pandeglang , 07 April 2007
Badan Pengurus Wilayah
DPW SPI Banten
OYO
Sekretaris
Kontak ( 0817 004 5245)