JAKARTA. Serikat Petani Indonesia (SPI), Koalisi Anti Utang (KAU), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Koalisi Rakyat untuk Hak Atasi Air (Kruha) dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengadakan diskusi terfokus dengan tema ”Menyoal utang untuk Perubahan Iklim (2/10). Diskusi ini dilakukan menyikapi penandatanganan Letter of Intent (LoI) dengan Norwegia sebesar 1 milyar US$ untuk program Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD) plus. Jumlah ini menambah daftar hutang Indonesia atas nama mengatasi perubahan iklim yang hingga saat ini telah berjumlah 2,3 milyar US$ termasuk dari Jepang dan Prancis.
Saat ini 68 persen dari pendanaan untuk program perubahan iklim pemerintah Indonesia berasal dari utang luar negeri. Utang -utang ini ditujukan untuk 3 sasaran utama yaitu hutan dan lahan basah (melalui program REDD plus), energi bersih, dan kelautan (Blue Carbon Fund).
Diskusi ini dilakukan karena dirasa penting bagi publik untuk memahami mekanisme pendanaan pemerintah untuk perubahan iklim. Jika Presiden SBY mengatakan tidak ada lagi pinjaman luar negeri, mengapa pemerintah menggunakan isu perubahan iklim untuk mendapatkan kucuran hutang. Hal ini disampaikan oleh Yuyun Harmono, Program Officer KAU. Sementara Dani Setiawan, Ketua KAU juga menambahkan bahwa sangat tidak etis untuk meningkatkan utang luar negeri atas nama perubahan iklim jika uang yang didapat justru digunakan untuk menambal defisit APBN.
Direktur Eksekutif Walhi, Berry Nahdian Furqan, menyatakan pemerintah, terutama kementerian keuangan, harus menjelaskan penggunaan utang US$ 2,3 miliar yang dipakai membiayai upaya mengatasi perubahan iklim. Pinjaman tersebut dikabarkan dipakai untuk berbagai kegiatan yang secara relatif tidak efektif. Tambahan lagi, kementerian-kementerian yang berhubungan dengan lingkungan tidak pernah tahu atau dilibatkan kita menilai, para pihak terkait harus menyelidiki masalah ini.
Achmad Yakub, Ketua Departemen Kajian Strategis SPI, menegaskan bahwa pemberian utang atas nama perubahan iklim ini hanya merupakan wajah baru untuk pengendalian negara-negara berkembang oleh negara-negara maju. Jika dahulu kita dipaksa berhutang atas nama pembangunan infrastruktur, mendorong pertumbuhan ekonomi, saat ini kita kembali dipaksa berhutang atas dasar krisis iklim. Lebih lanjut Ya’kub menambahkan bahwa hutang yang digunakan untuk program REDD justru semakin membahayakan kehidupan masyarakat yang paling rentan mengalami perubahan iklim seperti petani kecil dan masyarakat hutan yang tergusur akibat daerah tempat hidup mereka dijadikan kawasan konservasi.
“Perubahan iklim ini adalah akibat eksploitasi alam besar-besaran dan model pembangunan yang ekspansif dari negara-negara industri. Karena itulah justru kita terutama petani yang paling rentan merasakan dampaknya. Seharusnya model pembangunan di negara-negara kaya itu yang harus diubah dan mereka yang harus didorong mengurangi emisi karbonnya,” tukas Yakub.