Langsung dari FAO Asia Pacific Regional 2016, Putra Jaya, Malaysia
PUTRA JAYA, MALAYSIA. Mengapa kaum muda petani pergi ke kota? Mereka mencari kesempatan—demi keberlangsungan hidup mereka. Namun hidup lebih mahal di kota. Tidak ada hubungan ke tanah sebagai kehidupan. Banyak dari mereka, yang akhirnya menjadi kaum miskin kota, ingin kembali ke desa. Namun tidak bisa—tanpa insentif.
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) menyelenggarakan Konferensi Regional Asia Pasifik ke-33 di Putra Jaya, Malaysia sejak 7-11 Maret 2016. Dalam kesempatan ini, FAO membuka konsultasi dengan gerakan petani dan masyarakat sipil di region ini. Tema-tema kedaulatan pangan, reforma agraria, dan pertanian agroekologis berkelanjutan jelas menjadi fokus program dari gerakan petani.
“Untuk menarik kaum muda kembali ke pertanian. kita harus menyediakan akses tanah dan pasar,” ujar Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), di Putra Jaya, Malaysia, siang ini (10/03).
Henry membacakan pernyataan gerakan petani dan masyarakat sipil untuk FAO.
Ia melanjutkan, “Kita harus bergandengan tangan, petani-rakyat-pemerintah-FAO, demi sistem pangan yang demokratis. Demi kedaulatan pangan,”
“Kendali luar biasa perusahaan dan pemodal pangan harus dihempang. Demokratisasi untuk pangan lokal adalah kunci—masa depan kita tergantung bagaimana kita berdaulat atas pangan lokal,” tutup dia.
Dalam pernyataan sepanjang empat halaman tersebut, puluhan perwakilan petani kecil, kaum tak bertanah, perempuan petani, nelayan, buruh tani, pastoralis dan penggembala, masyarakat adat, konsumen, kaum muda dan LSM menyatakan kekhawatiran terhadap sistem pangan saat ini.
Banyak kasus menyedihkan di pedesaan. Di India, 300 ribu petani bunuh diri dari 1995-2014. Di Indonesia, 5 juta keluarga tani berkurang dalam kurun waktu 2003-2013. Di Australia, 55.000 peternak babi berkurang hingga cuma 600 sejak 1960-sekarang. Ini adalah masalah besar di pedesaan, sementara keuntungan besar bagi pemodal dan perusahaan transnasional. Dengan adanya Trans-Pacific Partnership (TPP) dan banyaknya perjanjian perdagangan bebas (FTAs), tangan pemodal besar dan korporasi makin merajalela.
“Untuk itu, FAO harus bekerja keras bersama pemerintah untuk meningkatkan kapasitas masyarakat desa, memperkuat sistem pangan lokal yang berkedaulatan pangan, membenahi terus perlindungan konsumen, serta menegakkan hak asasi petani dan mereka yang bekerja di pedesaan,” kata pernyataan tersebut.
Tak lupa, gerakan petani dan masyarakat sipil berkomitmen untuk meninggikan komitmen untuk partisipasi bersama, monitoring dan pelaporan, bahkan sumber daya dan agenda di dalam mekanisme FAO. Tentu ini demi bekerja bahu-membahu membangun sistem pangan lokal.
Dalam satu bagian, tindakan yang bisa diambil adalah mengakui kontribusi peran keluarga tani di tingkat dunia.
“Terkait hal ini, FAO bisa mengusulkan tema ‘Dekade Internasional tentang Keluarga Tani’ di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),” ujar Henry Saragih.
Henry juga mengapresiasi komitmen pemerintah Indonesia melaksanakan reforma agraria, dengan mendistribusikan tanah sembilan juta hektar, dan membangun kedaulatan pangan melalui pembangunan ribuan desa berdaulat benih dan agroekologi.
Pemerintah Indonesia sendiri hadir dengan puluhan delegasi yang dipimpin oleh Menteri Pertanian dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
“Kami juga mengapresiasi komitmen pemerintah Filipina untuk memberikan dana cadangan kepada petani kelapa di Filipina,” tutupnya.
Pernyataan lengkap tersebut bisa diunduh di sini.
Kontak selanjutnya:
Henry Saragih, Ketua Umum SPI, +62 811 655 668